Wanaloka.com – Sektor pertanian berkontribusi 10–12 persen dari emisi gas rumah kaca global, sehingga perlu integrasi antara sistem pangan dan pertanian rendah karbon. Transformasi pangan rendah karbon bukan hanya soal produksi, melainkan juga soal masa depan ekonomi, sosial, dan lingkungan Indonesia.
“Melalui forum ini, kami ingin melahirkan strategi konkret menuju pembangunan rendah karbon dan target net zero emission,” ujar Kepala Lembaga Riset Internasional Lingkungan dan Perubahan Iklim (LRI-LPI) IPB University, Prof. Rizaldi Boer dalam Workshop Integrasi Pendekatan Sistem Pangan dan Pertanian di Hotel Grand Melia, Jakarta, akhir Agustus lalu.
Acara yang digelar LRI-LPI bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) ini bertujuan menyusun strategi pertanian rendah karbon untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, sekaligus menghadapi tantangan perubahan iklim.
Baca juga: Raden Wisnu, Perdagangan Orangutan karena Alasan Ekonomi hingga Hutan Primer Berkurang
Perwakilan IFPRI, Angga Pradesha menambahkan workshop ini menjadi wadah untuk menjaring masukan bagi pengembangan kebijakan pangan nasional.
“IFPRI hadir untuk memastikan riset mendukung kebijakan yang berpihak pada petani dan ketahanan pangan,” imbuh dia.
Sementara itu, perwakilan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Puspita Suryaningtyas mengingatkan ancaman triple planetary crisis, yakni perubahan iklim, hilangnya biodiversitas, dan polusi. Ia menekankan perlu modernisasi pertanian, penguatan hilirisasi, serta pengelolaan food loss yang saat ini bisa mencukupi 45 persen kebutuhan pangan nasional apabila dikelola dengan baik.
Baca juga: Limbah Nikel dan Abu PLTU untuk Bahan Bangun Infrastruktur
Asisten Deputi Produksi Pangan dan Perubahan Iklim di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Fajar Nuradi menyoroti pentingnya strategi waste to energy dan kesejahteraan petani.
Discussion about this post