Adanya kandungan nikel tersebut telah menguatkan hipotesis pencemaran sungai berasal dari aktivitas penambangan nikel yang membongkar hutan dan merampas lahan warga di hulu sungai. Air yang telah tercemar kandungan logam berat nikel yang beracun serta mematikan, tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Paparan logam berat melalui air minum dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan seperti dermatitis kontak, gangguan imunologi, gangguan neurologis, gangguan reproduksi, gangguan perkembangan, efek karsinogenik, hingga kematian.
Operasi industri pengolahan nikel PT IWIP yang sarat penggunaan batu bara juga mendatangkan bencana yang nyaris dihadapi warga setiap hari. Menurut temuan Jatam yang diolah dari Puskesmas Lelilef dan Puskesmas Sage, bahwa ada peningkatan sangat besar jumlah kasus selama tiga tahun terakhir untuk penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), dermatitis kontak, dan penyakit lain yang berhubungan dengan saluran pernapasan dan pencernaan.
Baca Juga: Gugatan Iklim Pulau Pari Jadi Contoh Gerakan Keadilan Iklim Global
Puskesmas Lelilef yang menjangkau pelayanan kesehatan untuk warga Desa Kobe, Kulo Jaya, Lelilef Sawai, Lelilef Woebulan, Sawai Itepo, Woejerana, Woekob, dan Lukulamo mencatat prevalensi peningkatan kasus ISPA lebih dari 24 kali lipat sepanjang 2020-2023.
Pemiskinan Warga Halmahera
Perampasan lahan-lahan pertanian dan pencemaran perairan dari sungai hingga laut memaksa warga Halmahera mengubah pola konsumsinya. Sebelum ada aktivitas pertambangan, warga di daratan mengelola pertanian dengan komoditas padi sawah, pala, sagu, cengkeh, kakao, kelapa, pinang, nanas, dan tanaman hortikultura lainnya. Setelah ada aktivitas pertambangan, pasokan pangan menjadi terganggu sehingga menggantungkan pemenuhan bahan pangan dari luar Halmahera Tengah.
Di pesisir, pencemaran dan pembangunan jetty perusahaan membuat nelayan harus melaut lebih jauh dengan tangkapan yang kian berkurang. Kerusakan terumbu karang, hutan mangrove, dan padang lamun membuat produktivitas nelayan menurun. Padahal, berdasarkan Peraturan Daerah Maluku Utara Nomor 2 Tahun 2014-2023 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K), Teluk Weda ditetapkan menjadi zona perikanan tangkap pelagis dan demersal, serta zona potensial wisata alam bawah laut.
Baca Juga: Masyarakat Adat Sihaporas Diculik Usai Menuntut Perampasan Tanah Adat
Pencemaran di sungai-sungai Halmahera Tengah juga menyebabkan pasokan udang sungai, ikan mujair, dan berbagai biota sungai yang menjadi sumber pangan warga terganggu. Kini, warga Halmahera Tengah menggantungkan pasokan ikan dari wilayah Pulau Gebe, Halmahera Barat, Halmahera Utara, Halmahera Timur, dan wilayah Oba di Kota Tidore Kepulauan.
Pencemaran sungai juga membuat warga Halmahera Tengah menggantungkan pemenuhan air bersih dari air kemasan isi ulang. Dalam sehari, rata-rata konsumsi per rumah tangga tercatat sebanyak 3-5 galon dengan kisaran harga per galon Rp10.000-15.000. Artinya, rata-rata pengeluaran tambahan per hari setiap rumah tangga mencapai sekitar Rp30.000-45.000.
“Warga Halmahera dipaksa mengeluarkan biaya lebih besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mulai dari kebutuhan pangan hingga Kesehatan,” ungkap Julfikar.
Baca Juga: Alasan KKP Manfaatkan Penukaran Utang untuk Konservasi Terumbu Karang
Di satu sisi, warga kehilangan ruang-ruang penghidupan dan diperhadapkan oleh ancaman bencana yang dapat datang kapan saja.
Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan yang rentan bencana. Salah satunya banjir yang merupakan peristiwa yang terus berulang akibat laju pembongkaran hutan untuk industri tambang nikel mengalami peningkatan drastis.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, tidak hanya akan membuat kerusakan lingkungan dan tercemarnya sumber pangan dan air warga. Melainkan juga ancaman kriminalisasi warga yang mempertahankan hak-haknya kian masif terjadi. Juga berimplikasi pada peningkatan angka kemiskinan dan kedalaman kemiskinan kian lebar.
Baca Juga: Peran OMC Kini, Basahi Lahan Gambut Sebelum Karhutla Terjadi
“Jatam menuntut kepada pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan tambang nikel harus segera bertanggung jawab atas bencana banjir yang terjadi,” tegas Alfarhat.
Tentunya tidak hanya dengan memberikan bantuan sosial atas kerugian yang diderita warga akibat bencana yang terjadi, tetapi menghentikan segala kegiatan ekstraksi yang telah menjadi sumber bencana dan menghancurkan ruang hidup dan sumber penghidupan warga Halmahera.
Desak Moratorium Tambang Nikel
Mencermati situasi yang berkembang, Walhi Maluku Utara mendesak Pemerintah Halmahera Tengah, Pemerintah Maluku Utara, dan Pemerintah Pusat untuk segera mengambil langkah-langkah konkrit dalam menangani bencana banjir yang sedang berlangsung. Walhi menekankan pentingnya tindakan cepat dan tegas untuk mengatasi krisis ini, dengan beberapa poin penting sebagai berikut:
Baca Juga: Jadikan Pengelolaan Sampah Gaya Hidup Menuju Zero Waste Zero Emission 2050
Pertama, menetapkan status darurat bencana di Halmahera Tengah serta menambah personil tanggap darurat dan posko di lokasi yang terkena dampak banjir. Penetapan status darurat ini diperlukan agar bantuan dan sumber daya dapat dikerahkan dengan lebih efektif dan efisien.
Kedua, melakukan evakuasi kepada warga yang terisolasi di desa Woejerana, Woekob, Kulo Jaya, dan Kobe Kulo, terutama lansia, perempuan, dan anak-anak. Evakuasi segera ini sangat penting untuk memastikan keselamatan kelompok rentan yang paling terdampak bencana banjir.
Ketiga, meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera membentuk tim investigasi untuk menelusuri penyebab banjir. Investigasi ini harus dilakukan secara transparan dan akuntabel untuk mengetahui faktor penyebab dan mencegah kejadian serupa di masa depan.
Baca Juga: Sang Kompiang, Indonesia Baru Mampu Memproduksi 12 dari 200 Minyak Atsiri
Keempat, menindak tegas perusahaan tambang yang terbukti melakukan pengabaian dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga mengakibatkan bencana banjir. Tindakan hukum yang tegas diperlukan untuk memberikan efek jera dan memastikan perusahaan tambang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.
Kelima, meminta Pemerintah Pusat segera melakukan moratorium industri pertambangan nikel di Maluku Utara, terutama yang masuk dalam kebijakan proyek strategis nasional. Moratorium diperlukan karena aktivitas pertambangan telah mengakibatkan bencana ekologi dan perampasan ruang hidup masyarakat di Maluku Utara.
“Langkah-langkah ini sangat penting untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan warga yang terdampak banjir serta mencegah terulangnya bencana serupa di masa depan. Hanya dengan komitmen dan tindakan nyata dari semua pihak, kerusakan lingkungan dan dampak buruknya terhadap masyarakat dapat diminimalisir,” tegas Direktur Walhi Maluku Utara, Faizal Ratuela. [WLC02]
Discussion about this post