Implikasi bagi-bagi konsesi tambang, tak sekadar memicu perluasan perusakan lingkungan dan pencaplokan ruang hidup warga. Namun juga akan menggeser arena konfliknya menjadi antar warga, atau antara komunitas warga dengan agama.
“Dalih bahwa tambang bisa mendorong kesejahteraan bagi ormas keagamaaan tentu omong kosong,” tukas Melky.
Sebab pertambangan itu padat modal dan padat teknologi. Ekonomi tambang sangat rapuh, tidak berkelanjutan. Ia rakus tanah dan rakus air.
Baca Juga: Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024, Ini Pesan Walhi untuk Pemerintah Terpilih
Saat ini saja, jumlah izin tambang di Indonesia mencapai hampir 8.000 izin, dengan luas konsesi mencapai lebih dari 10 juta hektare. Dalam operasionalnya, tambang tak hanya melenyapkan ruang pangan dan air dan berdampak pada terganggunya kesehatan, tetapi juga telah memicu kematian.
Operasi pertambangan telah meninggalkan lubang-lubang beracun. Berdasarkan data Jatam, lebih dari 80 ribu titik lubang tambang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi di Indonesia. Lubang-lubang tambang itu menjadi mesin pembunuh massal. Di Kalimantan Timur, misalnya, telah menelan korban tewas 49 orang, mayoritas anak-anak.
“Kasus-kasus ini dibiarkan begitu saja, tanpa penegakan hukum,” ungkap Jamil.
Baca Juga: Din Syamsuddin, Muhammadiyah Harus Tolak Konsesi Tambang karena Lingkaran Setan
Kompleksitas masalah diduga Jatam tak akan pernah diselesaikan oleh rezim Jokowi. Justru akan menjadi tumpukan warisan utang sosial-ekologis bagi kekuasaan politik berikutnya.
Atas dasar itu pula, Jatam mendesak ormas keagamaan untuk tegas menolak pemberian konsesi tambang dari Presiden Jokowi. Sebaliknya, ormas kegamaan mesti berdiri bersama warga warga di garis depan krisis, menuntut pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan pemulihan dampak sosial-ekologis. Sekaligus penegakan hukum yang tegas atas rentetan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan oleh negara dan korporasi tambang. [WLC02]
Sumber: Jatam
Discussion about this post