Baca Juga: Pemerintah Genjot Produksi Nikel, Walhi Region Sulawesi: Perusakan Lingkungan akan Nyata
Nikel yang diklaim pada akhir 2022 mencapai nilai ekspor 440 miliar, berbanding terbalik dengan dampak kerusakan lingkungannya. Berdasarkan catatan Walhi, pertambangan nikel merupakan komoditas yang massif melakukan alih fungsi kawasan hutan hingga kini. Setidaknya 693.246,72 Ha kawasan tutupan hutan diberikan kepada konsesi nikel.
Beberapa kasus yang terjadi seperti pembukaan kawasan hutan untuk pertambangan nikel yang menyebabkan Danau Mahalona di Sulawesi Selatan terpapar lumpur tambang. Akibatnya, terjadi pendangkalan dan pencemaran lumpur tambang di Sungai Pongkeru dan Sungai Malili hingga sampai ke Pesisir Lampia. Kejadian serupa juga terjadi di Pesisir Bungku di Sulawesi Tengah dimana paparan lumpur akibat pertambangan nikel menyebabkan pendangkalan sungai dan pesisirnya sehingga nelayan tradisional kehilangan pendapatan.
Kemudian proses penguasaan dan pengelolaan investasi pertambangan nikel di Maluku Utara berdampak pada penurunan kualitas lingkungan hingga mempengaruhi produktivitas ekonomi masyarakat. Seperti Pulau Obi seluas 2.500 km2 di Maluku Utara telah dijejali dengan lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas konsesi 10.769,53 Ha. Akibat ekspansi pertambangan, Desa Kawasi yang merupakan salah satu desa tertua di Pulau Obi kehilangan sumber mata air. Sementara air Sungai Toduku yang biasanya dimanfaatkan untuk kebutuhan minum, mandi, bermain dan cuci pakaian, kini telah dipenuhi sedimentasi limbah bijih nikel. Kini warga Desa Kawasi harus mengkonsumsi air kemasan untuk minum sehari-hari.
Baca Juga: Peringati Hari Meteorologi Sedunia, Sekjen PBB Sebut Ulah Manusia Dampak Iklim Semakin Buruk
Secara umum, pertambangan nikel telah menyebabkan hilangnya hutan alam di pulau-pulau kecil Maluku Utara. Dalam 15 tahun terakhir, hutan seluas 16 ribu Ha telah hilang akibat ekspansi pertambangan nikel. Limbah nikel yang dibuang ke laut telah menyebabkan pencemaran laut dan mendorong turunnya jumlah nelayan. Data BPS Halmahera Timur mencatat jumlah nelayan pada 2004 ada 8.587 orang nelayan dan tersisa 3.532 orang pada 2018. Di Kecamatan Maba di Halmahera Timur yang terdampak pertambangan nikel, dari 2.338 orang nelayan pada 2004, kini tersisa 245 orang pada 2018.
Ekspansi pertambangan nikel juga menciderai demokrasi dan mengancam kebebasan berpendapat warga yang menolak pertambangan nikel. Setidaknya 3 warga di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara yang melakukan protes operasi pertambangan nikel dan 4 orang dari Masyarakat Adat Lingkar Tambang PT Vale Indonesia Tbk yang melakukan aksi unjuk rasa untuk menuntut perbaikan tata kelola perusahaan nikel. Dan mereka telah mengalami kriminalisasi dan intimidasi karena berusaha mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman perusakan pertambangan nikel.
Di Bangka Belitung sendiri, yang baju adatnya digunakan oleh Jokowi pada pidato kepresidenan, Data Walhi Babel (2018) mencatat sebanyak 41,83 persen atau 275.682 Ha kawasan hutan produksi dikuasai sembilan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), 1,1 juta Ha dikuasai 1.343 Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan 250 ribu Ha dikuasai pemilik Hak Guna Usaha (HGU) sawit. Sementara total luas daratan Babel hanya 1,6 juta Ha.
Baca Juga: Atasi Persoalan Hutan Jawa, Kementerian LHK Siapkan Permen KHDPK
Setidaknya 13 nelayan Babel dilaporkan mengalami kriminalisasi dengan Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) karena melakukan penolakan aktivitas pertambangan timah. UU Minerba kini tengah digugat ke Mahkamah Konstitusi karena bermasalah. UU minerba terbukti menurunkan tingkat partisipasi masyarakat dengan pengalihan kewenangan izin dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, meningkatkan ancaman kriminalisasi terhadap protes dan penolakan masyarakat akibat keluarnya izin tamban, juga memberi keleluasaan perusahaan tambang bisa beroperasi meskipun terbukti merusak lingkungan.
Klaim Rehabilitasi, Industri Hijau, Energi Bersih, dan Pangan

Kebijakan energi batu bara telah mengakibatkan serangkaian masalah mulai dari menyumbang emisi CO2 hingga 40 persen, praktik korupsi, hingga menimbulkan persoalan lingkungan dan masyarakat di tingkat tapak. PLTU batu bara misalnya, diidentifikasi menyumbang lebih dari 1/3 emisi terkait energi 2022 hingga 2040.
“Indonesia ‘kecanduan’ energi fosil yang susah dihilangkan dan digantikan. Bahkan terus membangun proyek-proyek mercusuar pembangkit listrik tenaga fosil, seperti batu bara dan gas,” demikian catatan Walhi.
Baca Juga: 15 Pembicara dari 6 Negara Bahas Tantangan Dunia Kehutanan
Proyek-proyek energi tersebut dibanggakan pemerintah karena kapasitasnya diklaim terbesar di Asia Tenggara, seperti PLTU Batang (2 x 1000 MW) maupun PLTGU (2 x 880 MW) sedang dalam tahap konstruksi. Begitu pula dengan proyek PLTU dan PLTGU lain seperti Indramayu 2 (1000 MW), Cirebon 2 (1000 MW), Riau (275 MW), Semarang (779 MW).
Akhirnya, klaim Industri hijau menjadi jargon kosong. Terlebih dimasukkannya gasifikasi batu bara dari batu bara berkalori rendah yang diresmikan Jokowi pada awal 2022, sebagai energi baru terbarukan (EBT).
“Ironisnya, skema gasifikasi batu bara masuk dalam perencanaan IKN yang diklaim menggunakan pendekatan pembangunan hijau,” sebagaimana dalam catatan Walhi.
Proyek EBT lebih banyak menggunakan konsep co-firing. Bukan mempensiunkan PLTU-PLTU tua dan proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether untuk menggantikan LPG. Artinya, pemerintah setengah hati mengelola transisi energi. Proyek gasifikasi batu bara yang didorong pemerintah adalah langkah mundur upaya mengurangi emisi di Indonesia. Operasi pertambangan batu bara yang dibiarkan jalan terus akan mengakibatkan lebih banyak emisi yang lepas karena pembukaan lahan tutupan hutan serta ekosistem esensial lainnya. Luasan tambang batu bara di Indonesia sekarang mencapai 5,9 juta Ha. Hampir 2 juta Ha di antaranya berada pada tutupan lahan hutan. Sedangkan jumlah emisi yang dilepaskan akibat penggunaan lahan oleh operasi pertambangan batu bara saat ini sudah senilai 349 juta ton CO2-eq.
Baca Juga: Banjir dan Longsor Landa Cilacap, Hari Ini Jawa Tengah Waspada Bencana Hidrometeorologi Dampak Hujan
Dalam konteks pangan, fakta dalam tiga tahun terakhir tidak terjadi impor beras, seharusnya menjadi argumentasi pemenuhan pangan tidak membutuhkan food estate. Dalam sejarah, proyek food estate hanya meninggalkan ancaman terhadap kerusakan lingkungan dan kawasan hutan, serta catatan potensi korupsi dan kerugian negara. Sejak proyek PLG, MIFEE, cetak sawah, hingga food estate hanya mengulang kegagalan dari masa ke masa, tanpa melibatkan petani sebagai subyek utama.
Pada klaim rehabilitasi mangrove, data pemerintah menunjukkan kondisi sebaliknya. Berdasarkan data Statistik Sumber Daya Laut dan pesisir 2021, total luasan hutan mangrove seluas 2.177.084,404 Ha. Sementara hanya 45,28 persen hutan mangrove dalam kondisi baik. Sisanya, 10,60 persen berada dalam kondisi sedang dan 20,93 persen rusak. Ironisnya, data Walhi (2022) mencatat hingga saat ini hutan mangrove tidak lepas dari ancaman WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan). Di kawasan hutan mangrove tercatat luasan tambang mencapai 48.456,62 Ha, dengan rincian 24.728,03 Ha di hutan mangrove primer dan 23.728,59 Ha hutan mangrove sekunder.
Baca Juga: Bencana Hidrometeorologi di Ponorogo, Waspadai Hujan Hingga Senin Depan
Terkait klaim rehabilitasi laut, pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada akhir 2020 lalu. Pasal 51 UU Cipta Kerja menyebutkan Pemerintah Pusat berwenang menetapkan perubahan status zona inti di kawasan konservasi nasional. Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 3 – 7 PP Nomor 27 Tahun 2021 menyatakan zona inti di kawasan konservasi laut boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional. Dengan demikian, UU Cipta Kerja dan PP Nomor 27 Tahun 2021 menegaskan kawasan konservasi laut yang disebut Jokowi itu sangat mudah diubah untuk beragam kepentingan proyek strategis nasional yang didominasi oleh kepentingan ekstraktif dan eksploitatif.
Terbaru, pemerintah Indonesia sedang menyiapkan skema izin khusus penangkapan ikan terukur yang akan diberikan kepada perusahaan penangkapan ikan skala besar. Izin khusus ini akan diberikan dalam jangka waktu 15 tahun dan akan diterapkan di tujuh wilayah pengelolaan perikanan (WPP), yakni WPP 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur), WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi), dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, ada WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera) serta WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan WPP 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara).
Baca Juga: Pemerintah Klaim Rehabilitasi 600 Ribu Ha Lahan Mangrove atasi Perubahan Iklim
Kebijakan ini akan mengeksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan serta memaksa nelayan-nelayan skala kecil bersaing dengan kapal-kapal besar di lautan Indonesia. Tak ada keadilan dan kelestarian sumber daya laut dalam kebijakan ini.
Klaim Perlindungan Hukum, Sosial, Politik, dan Ekonomi untuk Rakyat
Klaim atas perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat berada di titik yang berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi sepanjang periode ini. Ruang demokrasi menyempit hingga dunia digital. Dalam konteks ruang demokrasi, kekuasaan sudah menunjukkan alergi terhadap kritik. Pada Pasal 14 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 mewajibkan platform media sosial menghapus konten yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan. Pasal 21 dan 36 juga mewajibkan platform media sosial memberikan akses data dan percakapan pribadi untuk diawasi pemerintah. [WLC02]
Sumber: presidenri.go.id, walhi.or.id
Discussion about this post