Wanaloka.com – Tim peneliti Universitas Gadjah Mada tengah mengembangkan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) guna mendukung deteksi dini penyakit Tuberculosis (TBC). Inovasi ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi Indonesia yang hingga kini masih mengandalkan teknologi impor dalam pelaksanaan pencarian kasus TBC secara aktif.
Peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM yang juga berperan sebagai Principal Investigator pada Project KONEKSI, Antonia Morita I Saktiawati mengungkapkan, timnya sedang merancang perangkat lunak berbasis AI bernama computer-aided detection (CAD). Teknologi ini dirancang untuk membantu tenaga kesehatan dalam menganalisis hasil rontgen dada guna meningkatkan efektivitas skrining TBC secara lebih cepat dan akurat.
“Kami sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengembangkan teknologi ini sendiri, apalagi dengan jumlah kasus yang tinggi,” ujar Morita, Selasa, 25 Maret 2025.
Baca juga: Bayu Dwi Apri, Kenaikan Suhu Bumi Ancaman Ketahanan Pangan Nasional
Penelitian ini telah berlangsung cukup lama dengan keterbatasan pendanaan. Namun kini mendapatkan dukungan dari program KONEKSI yang diinisiasi Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia.
Sejumlah institusi pun turut berkolaborasi dalam penelitian ini, termasuk UGM, University of Melbourne, Monash University Indonesia, Universitas Sebelas Maret (UNS), serta beberapa organisasi kesehatan dan advokasi seperti Yayasan Pengembangan Kesehatan dan Masyarakat Papua (YPKMP) dan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA).
Saat ini, jumlah kasus TBC di Indonesia adalah terbanyak kedua di dunia. Dari estimasi sekitar 1.060.000 kasus, baru sekitar 81 persen yang telah terdiagnosis. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan cakupan deteksi mencapai 100 persen dengan memanfaatkan teknologi seperti CAD.
Baca juga: Perubahan Iklim Tahap Kritis, Kekeringan dan Banjir Terus Berlanjut Tiap Tahun
Tanpa deteksi tepat waktu, penderita TBC berisiko tidak mendapatkan pengobatan yang diperlukan. Dampaknya bisa berujung kematian serta meningkatkan penyebaran penyakit terhadap orang lain.
“Upaya deteksi dini menjadi langkah krusial dalam mempercepat eliminasi TBC di Indonesia,” kata Morita.
Selain bertujuan meningkatkan akurasi diagnosis, penelitian ini juga berfokus pada pemerataan akses layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat. Morita menyoroti kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, serta masyarakat di daerah terpencil yang masih menghadapi tantangan besar dalam memperoleh layanan TBC yang memadai.
Baca juga: Media Berperan Penting Memperkuat dan Mendukung Pengesahan RUU Masyarakat Adat
Di banyak daerah di Indonesia, budaya patriarki masih menjadi hambatan bagi perempuan untuk mengakses layanan kesehatan, termasuk pemeriksaan dan diagnosis TBC. Sementara kelompok lain seperti penyandang disabilitas, sering kali mengalami kendala baik dari segi fisik maupun sosial dalam mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan yang dibutuhkan.
Pengembangan teknologi ini dilatarbelakangi jumlah kasus TBC yang meningkat. Pada 2022, lebih dari 724.000 kasus TBC baru di Indonesia ditemukan. Kemudian pada 2023 meningkat menjadi 809.000 kasus. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan kasus sebelum pandemi yang rata-rata penemuan kasus di bawah 600.000 per tahun.
Morita menyambut baik langkah Kementerian Kesehatan dalam menerapkan active case finding (ACF) di 25 kabupaten/kota yang telah meningkatkan angka deteksi kasus TBC sebesar 2-7 persen pada 2024. Ia berharap program ini dapat diperluas hingga ke daerah terpencil agar seluruh masyarakat, terutama kelompok rentan, dapat memperoleh layanan kesehatan yang setara.
Baca juga: Daftar Taman Nasional yang Tutup Sementara Saat Libur Lebaran 2025
Teknologi CAD berbasis AI diharapkan mampu membantu tenaga kesehatan dalam menganalisis hasil rontgen dada dengan lebih efisien, khususnya di wilayah dengan keterbatasan tenaga medis seperti radiolog.
“Saya yakin dengan dukungan inovasi teknologi serta kebijakan yang inklusif, target eliminasi TBC di Indonesia dapat lebih cepat tercapai,” kata dia.
Tantangan percepatan eliminasi TBC
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam upaya eliminasi TBC. Dengan lebih dari 1 juta kasus dan 125.000 kematian setiap tahun, TBC menjadi ancaman kesehatan serius masyarakat. Saat ini, Indonesia menempati peringkat kedua kasus TBC terbanyak di dunia. Provinsi Jawa, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan sebagai penyumbang kasus tertinggi yang masing-masing tercatat lebih dari 40.000 kasus.
Baca juga: Empat Pekerja Tertimbun Longsor di Area Penyimpanan Limbah B3 Tailing di Morowali
Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Ina Agustina, menegaskan pentingnya akselerasi program penanggulangan TBC secara menyeluruh.
“Setiap jam, 14 orang meninggal karena TBC di Indonesia. Kita harus bergerak bersama. Jika tidak dimulai sekarang, target eliminasi 2030 akan sulit tercapai,” ujar Ina dalam temu media, Senin, 24 Maret 2025.
Pada 2024, Indonesia telah mencatatkan 889 ribu notifikasi kasus TBC. Namun, pencapaian inisiasi pengobatan TBC sensitif obat (SO) masih berada pada angka 81 persen, di bawah target 90 persen. Sementara keberhasilan pengobatan TBC resisten obat (RO) baru mencapai 58 persen, jauh dari target 80 persen.
Baca juga: Janji Menteri Kehutanan, Lebih Banyak Menanam Pohon Daripada Menebang
Untuk mempercepat eliminasi TBC, Kemenkes menerapkan enam strategi utama. Penguatan promosi, pencegahan, pemanfaatan teknologi, serta integrasi data dengan rumah sakit dan puskesmas.
“Kami terus memperkuat penemuan kasus dengan pemanfaatan teknologi seperti X-ray portable, Tes Cepat Molekuler, dan PCR, serta memberikan insentif dan SKP bagi tenaga kesehatan yang terlibat,” jelas Ina.
Inovasi lainnya mencakup e-learning TBC yang telah diakses lebih dari 491.000 tenaga kesehatan serta penerapan sertifikat kesembuhan otomatis bagi pasien.
Baca juga: Hari Air Sedunia 2025, Sungai Mahakam Kehilangan Tuah Akibat Kepentingan Ekstraksi
Pemerintah juga memperkuat keterlibatan lintas sektor dengan mendorong pembentukan Tim Percepatan Penanggulangan TBC (TP2TB) sebagaimana amanah Perpres Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Saat ini, TP2TB ada di 21 provinsi dan 142 kabupaten/kota. Kolaborasi dengan kementerian/lembaga, komunitas, media, serta pemanfaatan dana desa menjadi bagian penting dalam upaya ini.
“Eliminasi TBC bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan. Kami butuh keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah daerah, organisasi profesi, komunitas, dan media,” tambah dia.
Discussion about this post