Kendati proses membuat kolang-kaling berlangsung setahun sekali, pohon aren atau pohon enau (Arenga pinnata) tak bisa dipanen saban tahun. Buah aren yang siap panen itu minimal usianya sekitar 3,5 tahun di pohon. Cukup lama. Makanya akan digilir, pohon mana yang siap panen. Jadi perlu banyak pohon.
Baca Juga: Hari Air Sedunia 2025, Sungai Mahakam Kehilangan Tuah Akibat Kepentingan Ekstraksi
Rentang waktu panen yang lama ini, justru menjadikan petani banyak menanam aren. Setiap sudut yang memungkinkan, sebatang pohon aren ditanam. Maka, satu keluarga bisa memiliki ratusan batang pohon. Jika tidak memanfaatkan buahnya, pohon juga bisa disadap, diambil air niranya dan diolah menjadi gula merah maupun gula pasir berwarna cokelat.
Pohon aren ini yang menjadi bagian dari konservasi alam di wilayah Sitandiang. Tak ada lahan kritis. Bagian dari kearifan lokal masyarakat dalam bidang lingkungan.
Konservasi alam yang baik di Sitandiang ini nyatanya tak hanya bermanfaat untuk warga dusun itu sendiri. Di bawah sana, Sungai Batangtoru meresapi setiap tetes air dari proses konservasi itu yang mengalir dari anak sungai Aek Sitandiang. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru mengandalkan sungai itu untuk menghasilkan tenaga listrik berdaya 510 megawatt, nanti kalau sudah selesai dibangun.
Baca Juga: Ada Alih Fungsi Tak Terkendali di Kawasan Hutan Hulu DAS Jabodetabek
Maka, proses konservasi yang berlangsung di Sitandiang terbukti akan memberikan manfaat ekonomi yang besar. Tidak hanya di Sipirok, melainkan Indonesia. Sebab tahun-tahun berikutnya interkoneksi listrik akan semakin merentang jauh, dan produksi listrik dari aliran Sungai Batangtoru itu akan dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Sebatang pohon aren tepian hutan Batangtoru, dan daya listrik di ujung Indonesia. Mengagumkan. [Kontributor: Khairulid]







Discussion about this post