Wafid pun menegaskan, regulasi tersebut untuk mengatur agar jangan sampai terjadi gangguan aksestabilitas air tanah oleh masyarakat kemudian hari, akibat pengambilan air tanah secara eksplosif.
“Jadi tidak membatasi pengambilan air tanah,” imbuh Wafid.
Pemberlakuan izin air tanah (non-kemersial) hanya diberlakukan terbatas kepada rumah tangga yang menggunakan air tanah lebih dari 100 meter kubik per bulan per kepala keluarga, pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada, kegiatan wisata atau olah raga air yang dikelola untuk kepentingan umum atau bukan kegiatan usaha, pemanfaatan air tanah untuk kebutuhan penelitian, pengembangan, pendidikan dan kesehatan milik Pemerintah.
Baca Juga: Ini 7 Waduk Target Proyek PLTS Terapung Hingga 2030
“Penggunaan air permukaan diutamakan dan maksimalkan terlebih dahulu apabila masih mencukupi. Air tanah menjadi alternatif terakhir untuk digunakan. Ini pun kami tidak batasi aksestabilitasnya, selama tidak lebih dari 100 meter kubik per bulan. Jadi, kami masih memberikan kebebasan masyarakat untuk tetap mengambil air tanah,” ucap Wafid.
Sedangkan untuk pengusahaan air tanah (komersial), Badan Usaha tetap mengikuti ketentuan yang diatur Pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor : 259 Tahun 2022 tentang Standar Penyelenggaraan Izin Pengusahaan Air Tanah.
Pemulihan Muka Air Tanah di Jakarta
Wafid menambahkan, upaya pengendalian air tanah harus dilakukan, sehingga memungkinkan terjadinya proses pemulihan muka air tanah dan pelandaian laju penurunan muka tanah.
Baca Juga: Festival Panen Kopi Gayo 2023 Wadah Petani Bagi Ilmu Ketahanan Pangan
“Kedua hal tersebut merupakan indikasi keberhasilan pengelolaan air tanah,” ujar Wafid.
Ia mencontohkan, pada cekungan air tanah Jakarta telah dilakukan upaya pemantauan air tanah dan penurunan tanah sejak tahun 2014 melalui pendirian Balai Konservasi Air Tanah (BKAT), yang merupakan UPT di bawah Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, Kementerian ESDM.
Pemantauan air tanah dilakukan pada 220 lokasi tiap tahun, baik di sumur pantau, sumur produksi, maupun sumur gali, berupa kegiatan pengukuran muka air tanah dan analisis sifat fisika-kimia air tanah. Salah satu tujuan kegiatan pemantauan air tanah adalah untuk evaluasi pengendalian pengambilan air tanah sebagai bagian dalam pemberian izin pengusahaan air tanah yang dituangkan dalam bentuk Peta Zona Konservasi Air Tanah.
Baca Juga: PLTS Terapung Cirata Pasok Energi Bersih Sistem Kelistrikan untuk Jawa dan Bali
Wafid menuturkan pengukuran selama periode tahun 2015-2022 di wilayah cekungan air tanah di Jakarta menunjukkan laju penurunan tanah antara 0,04 hingga 6,30 cm per tahun. Wafid mengklaim ada pelandaian penurunan tanah dibandingkan tahun 1997 hingga 2005 dimana laju penurunan tanah antara 1-10 cm per tahun hingga 15-20 cm per tahun.
“Pelandaian penurunan muka tanah juga teramati di sumur pantau manual di lokasi kantor Balai Konservasi Air Tanah Jalan Tongkol Jakarta Utara,” imbuh Wafid.
Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Budi Santoso menambahakan, pemanfaatan air tanah harus mempertimbangkan kaidah-kaidah air tanah yang baik agar terjadi keseimbangan.
Baca Juga: HKAN 2023, Menteri Siti Ingatkan Manusia Menjaga dan Hidup Selaras dengan Alam
“Harus mempertimbangkan keseimbangan alam agar tidak terjadi kerusakan. Untuk menghindari kerusakan itu, perlu langkah-langkah mitigasi seperti yang sedang dilakukan Pemerintah melalui Badan Geologi saat ini,” ujar Budi.
Upaya lain yang ditempuh adalah konservasi air dengan mengatur pemanfaatan air tanah agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan hingga masa depan.
“Pemerintah tidak membatasi pemanfaatan air tanah, tapi pemerintah ingin lebih memastikan setiap orang memiliki hak untuk mengakses air itu sesuai dengan kebutuhannya. Kami tidak ingin generasi sekarang berfikir bahwa air siklusnya demikian karena ada hujan, ada resapan, kemudian ada cekungan air di tanah. Tapi tidak berfikir bagaimana isu itu akan menjadi masalah bagi generasi setelah kita,” imbuh Budi. [WLC02]
Sumber: UGM, Kementerian ESDM
Discussion about this post