Lucunya ganti rugi diberikan kepada KKP, bukan kepada warga. Tentu saja dampak pada kehidupan warga juga semakin tinggi dan perempuan seperti halnya dialami perempuan di Arungkeke juga dialami perempuan Pulau Pari.
“Kami tidak butuh investor, kami butuh laut kami!!” tandas Asmania dihadapan petinggi KKP yang menerimanya sambil menahan emosi dan air matanya tak tertahan tumpah di pipi.
Ketua Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah, juga mengungkapkan hal senada. Akibat kebijakan kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi di laut membuat beberapa desa-desa pesisir di sekitar Demak tenggelam, seperti Desa Timbulsloko dan Desa Bedono. Abrasi-abrasi ini terjadi semakin tidak terbendung karena hilangnya mangrove sebagai benteng alami permukiman warga yang digunduli untuk tambak dan reklamasi di Semarang. Ratusan warga masih bertahan dan melakukan adaptasi dan mitigasinya sendiri. Berjuang sendiri.
Baca Juga: Mahasiswa ITB Edukasi Dampak Kenaikan Suhu Bumi Lewat Bara Senyap
Kehidupan kini semakin menyulitkan para masyarakat pesisir di wilayah dia. Menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan, akses transport yang mahal. Beban kesulitan ekonomi karena perampasan ruang ini menyebabkan banyak perempuan pesisir mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau melakukan peran ganda.
“Jadi kami serukan untuk mencabut Kebijakan Pengelolaan Sedimentasi ini. Kalian telah merusak ruang hidup kami,” tandas Masnuah.
Sementara Cliff dihadapan KKP menyatakan merasa tidak habis piker. Pulau terpencil macam desanya juga tidak luput dari intervensi kebijakan yang menyudutkan masyarakatnya.
Baca Juga: Para Ahli Evaluasi InaTEWS untuk Hadapi Potensi Gempa Megathrust
Para nelayan di sana harus kalah dengan kapal-kapal besar bermodal besar. Menghabisi hasil laut dengan rakusnya hingga merusak. Mereka punya kearifan lokal dalam mengelola laut dan menangkap ikan. Bahkan mereka tidak diperkenankan menggunakan kapal besar, melainkan selalu menggunakan kapal tradisional untuk menjaga keberlanjutan kehidupan laut.
“Jadi jangan ajari kami bagaimana mengelola laut. Kami tau cara mengelola laut yang berkelanjutan,” ujarnya setelah pertemuan,” tegas Cliff.
Usai audiensi dengan Kementerian KKP, para masyarakat pesisir lainnya yang menunggu hasil pertemuan semakin kecewa dengan hasil pertemuan tersebut. Bahkan Asmania tidak bisa membendung emosinya lebih lama hingga dia harus dipeluk oleh sesama perempuan pesisir lainnya.
Baca Juga: Lonjakan Sampah Plastik Diprediksi Jadi 38,42 Persen pada 2050
Sementara Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengingatkan pemerintahan baru, baik eksektif dan legislatif yang akan dilantik bulan ini untuk meluruskan lagi kebijakan-kebijakan yang justru kontradiktif dengan semangat keberlanjutan ekosistem pesisir dan pemberdayaan masyarakat nelayan.
Dia berharap kementerian KKP yang baru bisa memahami tata kelola lembaganya, dengan fokus menegakkan MK No. 3/PUU VIII/2010 kembali.
Susan menambahkan, meski Indonesia sudah memiliki perangkat konstitusional yang memadai untuk menyejahterakan dan melindungi nelayan, pelaksanaannya sering lemah di tingkat regulasi bawah. Diperlukan konsistensi dalam penerapan aturan yang adil untuk melindungi nelayan kecil. Keberpihakan pemerintah baru juga akan diukur dari komitmennya dalam memberikan jaminan sosial yang tepat sasaran bagi nelayan.
“Kami membuka peluang bagi Menteri KKP yang baru untuk magang atau tinggal di kampung pesisir sebelum memimpin. Agar memahami makna kedaulatan, kesejahteraan, dan kebaharian dari perspektif nelayan dan perempuan nelayan, bukan sekadar dari kebutuhan investor,” tegas dia. [WLC02]
Discussion about this post