Wanaloka.com – Masyarakat pesisir Indonesia menyerukan agar pemerintahan Joko Widodo tidak melanggar hak-hak konstitusional mereka yang telah diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang menegaskan tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UUPWP). Bahwa masyarakat pesisir memiliki hak konstitusional dalam mengakses laut secara bebas; berhak mengelola wilayah pesisir berdasarkan pengetahuan lokal dan kearifan komunitasnya; masyarakat juga berhak mendapatkan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir; serta bisa menikmati perairan yang bersih dan sehat.
Masyarakat pesisir juga mengingatkan Presiden Jokowi maupun penggantinya nanti, tidak lagi memporak-porandakan pesisir dengan peraturan yang serampangan dan tidak konsisten, dengan dalih pembangunan, program-program berskema konservasi (namun hutang) yang seringkali bertentangan dengan prinsip keberlanjutan ekosistem pesisir, apalagi untuk kesejahteraan masyarakat pesisir.
Demikian seruan dalam aksi demo tuntutan Masyarakat Pesisir Indonesia di depan Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2024 dalam siaran tertulis Koaliasi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Kegiatan ini merupakan aksi puncak usai rangkaian kegiatan Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024: Memperjuangkan Kebaharian Indonesia yang digelar Kiara, bersama YLBHI, Trend Asia, Bina Desa, PIKUL, WGII, JKPP, IGJ, Greenpeace Indonesia, serta jaringan organisasi masyarakat sipil lainnya, sejak 8 Oktober lalu di Jakarta.
Baca Juga: Cara Pemulihan Ekosistem Terumbu Karang Lewat Mikrofragmentasi
Dalam aksi ini, masyarakat pesisir yang juga adalah nelayan, termasuk perempuan nelayan melakukan aksi menaburkan pasir kuarsa yang mereka ambil dalam botol satu liter dari kampungnya masing-masing. Aksi itu simbol penolakan mereka atas aturan ekspor pasir laut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Padahal sebelumnya, selama 20 tahun, mengapalkan pasir laut untuk dikirim ke luar negeri adalah aktivitas ilegal.
Dalam aksi ini, masyarakat pesisir membawa spanduk panjang bertuliskan: Climate Justice; Our Sea, Our Identity! We are the Sea!; Fisherwomen Against Land and Ocean Grabbing. Juga sejumlah poster dengan beragam tulisan, seperti: Lebih Baik Jual Pasir Kucing Daripada Pasir Laut; Pasir Kok Dijual, Ini Pemerintah atau Toko Bangunan; Dulu Ibu Susi menenggelamkan Kapal Asing Pencuri, Sekarang Pemerintah Menenggelamkan Desa; Jangan Tenggelamkan Kami, Tenggelamkan Mulyono Saja.
Dalam kesempatan tersebut, perwakilan masyarakat pesisir juga meminta masuk ke Kantor KKP untuk menyampaikan pesan-pesan kunci mereka secara langsung. Mereka diterima secara terbatas oleh perwakilan Kementerian KKP, yaitu Kepala Pokja Tata Kelola Alat Penangkapan Ikan, Lingga Prawitaningrum serta Kepala Bidang Konsumsi dan Keamanan Pangan, Eko Ferry Setiawan.
Baca Juga: Warga Gili Meno Hadapi Krisis Air Bersih dan Kerusakan Terumbu Karang
Masyarakat pesisir kecewa
Perwakilan masyarakat pesisir yang berdemo dan diizinkan bertemu dengan pejabat KKP adalah beberapa perwakilan perempuan nelayan yang diwakili oleh Kasmawati dari Jeneponto, Sulawesi Selatan; Asmania pejuang perempuan dari Pulau Pari, DKI Jakarta; tokoh adat Clif Henry KIssya dari Negeri Haruku, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku; Rizal perwakilan Panglima Laot dari Aceh; serta Roy, nelayan dari Manado.
Dalam menyampaikan keresahannya, Kasmawati memaparkan dampak kebijakan-kebijakan serampangan pemerintah yang berdampak pada kehidupan perempuan pesisir di Jeneponto.
Tahun 2018, di dekat desa dia di Desa Arungkeke, hampir di sepanjang pantai Sulawesi Selatan, muncul tambak-tambak udang berskala besar milik perusahaan asing. Seiring itu, juga dihadirkan PLTU. Kehadiran mereka menghantam budi daya rumput laut yang selama ini menjadi andalan hidup keluarga nelayan. Limbah-limbah kimia pasca panen tambak mencemari laut, mematikan rumput laut, kepiting bahkan ikan-ikan kecil.
Baca Juga: Rumah Aman Gempa Bisa Meredam Kerusakan dan Memberi Waktu Evakuasi
“Dampaknya, nelayan harus mencari ikan lebih jauh lagi. Dan banyak perempuan di desa kami terjerat hutang, karena harus menanggung kesulitan ekonomi ini untuk memenuhi dapur keluarga dan sekolah anak, yang dulu tidak pernah kami alami,” jelas Kasmawati.
Sementara Asmania secara emosional meminta agar KKP dan institusi lainnya tidak lagi mengintervensi Pulau Pari dengan kebijakan-kebijakan merusaknya. Apalagi hanya untuk memberikan keuntungan pada investor-investor tertentu dengan mengabaikan kelestarian ekosistem yang ada di Pulau Pari dan juga masyarakat yang sudah turun menurun tinggal di sana.
Beberapa kali warga Pari yang prokeadilan ekologiogis wilayahnya dikriminalisasi karena pemerintah lebih memihak investor. Terakhir, ada kebijakan reklamasi besar-besaran untuk resort apung yang dilakukan PT Panorama yang justru merusak ekosistem padang lamun dan terumbu karang.
Baca Juga: Kapal Singapura Diduga Curi 100 Ribu Meter Kubik Pasir Laut di Perairan Batam
Discussion about this post