Baca juga: Bukan Lagi PSN, Pemerintah Seharusnya Hentikan Proyek Rempang Eco City
Polisi adalah pelayan rakyat, bukan alat perusahaan. Pernyataan Kapolda dinilai sekadar mengulang pasal-pasal hukum tanpa menyentuh akar konflik sosial-ekologis di lapangan menunjukkan sikap arogansi dan keberpihakan institusi kepolisian terhadap korporasi tambang.
Sikap ini menciderai amanat konstitusi UUD 1945 dan bertentangan dengan Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 yang menyatakan fungsi kepolisian adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tindakan represif seperti penembakan gas air mata dari jarak dekat, yakni sekitar 4–5 meter dari massa aksi, jelas merupakan pelanggaran terhadap Pasal 40 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Pasal tersebut menyatakan anggota Polri dilarang bersikap arogan, bertindak diskriminatif, melindungi pelanggar hukum,menutup-nutupi pelanggaran, dan melakukan tindakan berlebihan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Baca juga: Pelaku Perdagangan Cula Badak Jawa di Ujung Kulon Batal Bebas
“Jadi yang semestinya diperiksa adalah aparat kepolisian di lapangan yang telah bertindak sewenang-wenang, menyebarkan narasi menyesatkan, dan merugikan masyarakat secara nyata. Intimidasi dan kekerasan hukum terhadap massa aksi melalui surat panggilan polisi juga harus segera dihentikan,” kata Edy.
Tindakan ini bertentangan dengan UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (UU Nomor 12 Tahun 2005), UU Nomor 9 Tahun 1998, Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), serta Pasal 2 Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024.
Ketiga, PT STS diduga beroperasi tanpa persetujuan masyarakat adat.
Kapolda tidak menjelaskan apakah PT STS telah memperoleh persetujuan sah dari masyarakat adat sebagaimana diwajibkan dalam prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent). Apakah masyarakat diberi informasi yang utuh, kesempatan untuk memahami risiko, serta ruang bebas untuk menerima atau menolak proyek sejak awal?
Baca juga: HKB 2025, Uji Publik Rancangan Peraturan BNPB di Mataram hingga Tanam Aren di Serdang Bedagai
“Jika tidak, operasi perusahaan di wilayah adat merupakan bentuk pelanggaran hak kolektif masyarakat adat dan bentuk nyata penindasan structural,” ucap Jamil.
Keempat, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara.
Kapolda dinilai keliru dalam menafsirkan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012. Putusan tersebut secara tegas memisahkan Hutan Adat dari kategori Hutan Negara. Artinya, wilayah tersebut berada di bawah otoritas masyarakat hukum adat, bukan negara atau korporasi.
“Mengabaikan putusan ini berarti menyangkal konstitusi dan menginjak-injak legitimasi perjuangan masyarakat adat yang telah berlangsung secara konsisten selama puluhan tahun,” ucap Edy.
Kelima, Pengakuan hak adat tidak bergantung pada perda atau SK.
Baca juga: Rafflesia zollingeriana, Tumbuhan Langka yang Mekar untuk Diselamatkan
Hak masyarakat hukum adat tidak bisa digantungkan pada keberadaan Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah. Konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional telah mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat secara inheren.
Negara tidak boleh menjadikan keterlambatan birokrasi sebagai alasan untuk melegalkan perampasan wilayah adat. Penundaan pengakuan administratif tidak boleh menjadi dasar pengingkaran hak.
Menolak tambang bukan kejahatan
Terkait peristiwa tersebut, Jatam, YLBHI dan masyarakat adat Halmahera Timur menyatakan sikap:
Pertama, Segera hentikan aktivitas PT STS di Halmahera Timur dan lakukan proses hukum atas semua kejahatan yang dilakukan.
Baca juga: Atasi Masalah Sampah, Kampus Libatkan Mahasiswa dan Pemerintah Ajak Tentara
Kedua, Hentikan intimidasi dan kriminalsasi terhadap warga, dan segera tarik semua aparat kepolisian dari lokasi.
Ketiga, Wujudkan pengakuan penuh atas wilayah adat tanpa syarat administratif yang memberatkan rakyat.
Keempat, Mendesak Kadiv Propam Polri untuk segera memeriksa personel kepolisian yang terlibat, karena unsur pelanggaran terhadap Perkap Nomor 8 Tahun 2009 telah terpenuhi.
Kelima, Mendorong Komnas HAM dan Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan segera mengeluarkan surat perlindungan terhadap warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Mengingat ini merupakan mandat konstitusional dan amanat hukum, sebab para pejuang lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata atas perjuangan tersebut.
Keenam, Menuntut pihak kepolisian, serta pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian ESDM Indonesia segera melakukan audit dan investigasi atas kelengkapan izin operasi PT STS, serta dampak pencemaran, kerusakan, dan konflik sosial yang ditimbulkannya.
“Sebab menolak tambang bukan kejahatan. Merampas tanah rakyat adalah kejahatan sebenarnya,” seru mereka. [WLC02]
Sumber: Jatam
Discussion about this post