Dan itu akan menimbulkan masalah baru, karena daerah itu merupakan daerah resapan air. Sementara pasokan sumber air bersih untuk masyarakat Sleman, Yogyakarta dan Bantul berasal dari Sleman utara.
“Nanti akan mengakibatkan kekacauan air tanah,” tukas Pramono.
Baca Juga: Gempa Halmahera Timur 5,1 Magnitudo Dipicu Deformasi Batuan Dalam Lempeng
Salah satu kebijakan pemerintah yang digaungkan adalah pengelolaan sampah secara mandiri. Artinya, masyarakat diminta melakukan pemilahan sampah secara mandiri sejak dari rumah. Ada beberapa tahapan untuk merampungkan persoalan sampah dengan cara tersebut. Pertama, masyarakat harus dikenalkan terlebih dahulu mengenai jenis-jenis sampah. Seperti sampah organik dan anorganik. Kemudian sampah organik yang meliputi sampah-sampah rumah tangga, seperti sisa makanan, potongan sayuran mentah, dan sejenisnya.
Sedangkan sampah anorganik, seperti benda-benda dari plastik, kaca, besi, kertas. Tiap sampah tersebut mempunyai cara pengelolaan yang berbeda agar ramah lingkungan dan punya nilai ekonomis. Hanya saja, tak semua masyarakat mau dan mampu mengelolanya secara mandiri.
“Saya usulkan konsep sampah berbayar untuk pengelolaannya. Dan penerapannya lewat perda,” kata Pramono.
Baca Juga: Kemarau Kering 2023 Waspadai Gagal Panen dan Penurunan Sumber Mata Air
Konsep sampah berbayar yang dimaksud adalah jika seseorang atau keluarga ingin membuang sampah dengan membayar sedikit uang, maka harus mengelola sampahnya sendiri. Artinya, praktik tersebut dapat dilakukan dengan pemilahan sampah secara mandiri.
Sampah-sampah dari bahan organik dapat dikelola sendiri untuk dijadikan kompos. Kemudian sampah dari kertas dan sampah plastik juga disisihkan tersendiri. Pihak ketiga akan mengambilnya untuk diolah. Harapannya, yang diambil nanti adalah residunya saja sehingga menjadi lebih sedikit.
“Bagi Masyarakat yang tidak sempat mengelola sampahnya sendiri akan membayar lebih banyak,” imbuh Pramono.
Baca Juga: Permasalahan Sampah di Yogyakarta, Sultan Perintahkan Sleman Kelola Sampah Secara Mandiri
Apabila proses 3R (Reduce, Reuse, Recycle) pada sampah dilakukan dan diperketat, masyarakat akan berhemat. Misalnya, sampah-sampah sisa makanan di suatu daerah tertentu akan dikumpulkan untuk bahan makan maggot. Hal-hal semacam ini diharapkan akan muncul dengan sendirinya. Termasuk yang buang sampah sembarangan diberikan sanksi bukan hanya teguran, tapi menjadi tindak pidana ringan (tipiring) yang bisa diadukan.
Metode sampah berbayar adalah solusi untuk masalah hulu, yaitu masyarakat. Namun tetap harus ada teknologi untuk pengelolaan sampah di TPA Piyungan. Teknologi yang dimaksud adalah untuk mencacah, mengompres, dan mengangin-anginkan 600 ton sampah yang masuk per hari ke TPA Piyungan. Kemudian mengemasnya menjadi rdf atau bahan bakar.
Plastik memiliki kalori untuk menggantikan fungsi batu bara. Tumpukan sampah di TPA Piyungan yang sudah bertahun-tahun itu bisa ditambang sedikit demi sedikit, dipilah dan diolah satunya menjadi pupuk dan menjadi bahan bakar. Apabila sampah diproses dengan kadar air kurang dari 20 persen bisa mengandung kalori untuk bahan bakar. Sementara bahan bakar tersebut dapat digunakan untuk campuran energi pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). tak lagi mengandalkan batu bara.
Baca Juga: Kejahatan Lingkungan PT Rafi Kamajaya Abadi Dihukum Rp920 Miliar
“Sekarang kan lagi ramai-ramainya co-firing, pencampuran bahan bakar untuk mengurangi batu bara,” kata Pramono.
Sementara besaran ongkos yang dikeluarkan masyarakat bisa dihitung dari penghitungan biaya untuk proses mekanistik dari sampah menjadi bahan bakar. Cara ini harus terintegrasi dengan pemerintah yang dilindungi dengan perda.
“Ini bisa memfungsikan lagi luasan TPA Piyungan,” ucap Pramono. [WLC02]
Sumber: UGM
Discussion about this post