Wanaloka.com – Sebanyak 19 lembaga peduli lingkungan yang bergabung dalam Organisasi Masyarakat Sipil, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Oil Change International, 350 Indonesia, Celios, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Sajogyo Institute, Yayasan Srikandi Lestari, Timbul! Indonesia, Auriga Nusantara, Trend Asia, Greenpeace Indonesia, Solidaritas Perempuan, Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi, Walhi Aceh, Walhi Riau, Walhi Jawa Barat, Walhi Jawa Timur, Walhi Papua menandatangani pernyataan bersama.
Isinya adalah meminta Pemerintah Republik Indonesia berhenti mempromosikan CCS/CCUS sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca, serta tidak menerapkan CCS/CCUS dalam kebijakan dan program transisi energi serta penanganan krisis iklim.
CCS/CCUS tidak lebih adalah solusi palsu dari upaya mencegah pemanasan global dan krisis iklim. CCS/CCUS hanya dipakai dalih oleh para pemain kongsi dagang krisis untuk bisa memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil, terus memenuhi atmosfer dengan emisi gas rumah kaca, dan membantu dampak pemanasan global dan krisis iklim.
Pernyataan bersama tersebut disampaikan terkait Pelaksanaan The International dan Indonesia Carbon Capture Storage (CCS) Forum 2024. Bahwa CCS tengah dipromosikan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca dan bagian dari aksi iklim untuk mencegah krisis akibat pemanasan global dan perubahan iklim.
Baca Juga: Cukup Konsumsi Energi Nuklir Sebesar Telur Ayam untuk Seumur Hidup
Melalui teknologi karbon dioksida (CO₂) dari berbagai sumber industri (PLTU batubara, PLTG, industri baja, industri migas, dan sebagainya) akan dipisahkan, diolah, dan disimpan ke dalam lokasi penyimpanan jangka panjang. Biasanya ke dalam formasi geologi di bawah tanah. Para promotor teknologi ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan dengan memitigasi perubahan iklim.
Namun sesungguhnya teknologi ini adalah teknologi yang sepanjang sejarahnya gagal mencapai tujuannya atau gagal memenuhi ekspektasi. Kegagalannya memberi tambahan beban finansial dalam operasinya serta berpotensi memberi dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Permasalahan pertama yang tampak adalah CCS memiliki sejarah panjang tantangan teknis dan finansial yang signifikan. Akibatnya, proyek-proyek CCS berakhir dengan kegagalan, memiliki kinerja buruk dan mengakibatkan pembengkakan biaya. Pada proyek CCS Gorgon di Australia, misalnya, untuk mengimbangi kekurangan target karbon dioksida sebesar 5,23 juta ton, Gorgon akhirnya harus menambah lebih banyak pembiayaan antara US$100 juta dan US$184 juta.
Baca Juga: Mulyanto, Ormas Agama Kelola Tambang seperti Kisah Perang Uhud
Cerita kegagalan lain bisa dilihat pada proyek CCS di Aljazair. Upaya menginjeksikan CO₂ ke lapangan gas yang telah terkuras sejak tahun 2004, akhirnya harus dihentikan pada tahun 2011. Sebab timbul kekhawatiran kemungkinan kebocoran, karena ditemukan pergerakan pada lapisan tanah yang seharusnya mampu mencegah kebocoran CO₂ ini.
Peristiwa serupa terjadi pada proyek CCS Sleipner di Norwegia, di mana CO₂ yang telah disuntikkan jauh ke dalam perut bumi, bermigrasi naik ke lapisan atas lebih cepat dari yang diperkirakan.
Laporan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan dari 13 proyek CCS/CCUS “andalan, berskala besar” di seluruh dunia yang bertanggung jawab terhadap lebih dari separuh operasi CCS/CCUS hanya menghasilkan total 39 juta ton CO₂ per tahun. Angka ini hanya sekitar 1/10.000 dari total 36 miliar ton emisi yang dibuang ke atmosfer pada tahun 2021.
Baca Juga: Plastic Free July Lewat Pemanfaatan Botol Plastik hingga Piknik Bebas Plastik
Permasalahan kedua yang muncul dari operasi proyek CCS/CCUS adalah dampak lingkungan dari peningkatan tekanan udara, pengasaman laut, dan kemungkinan proyek CCS memicu gempa bumi akibat penginjeksian CO₂ ke bawah tanah, serta risiko kesehatan akibat risiko kebocoran CO₂.
Meskipun teknologi CCS disebut telah dikembangkan sejak tahun 1970-an, namun penggunaan secara umum dipakai untuk meningkatkan perolehan minyak (enhanced oil recovery /EOR). EOR adalah proses di mana CO₂ yang ditangkap, lalu disuntikkan ke ladang minyak untuk meningkatkan jumlah minyak mentah yang diekstraksi. Alih-alih menurunkan emisi karbon, praktik ini justru mendorong peningkatan produksi bahan bakar fosil yang akhirnya menyebabkan emisi karbon tambahan. Lebih dari 80 persen proyek CCS digunakan untuk EOR atau untuk produksi minyak dan gas.
CO₂ yang terkompresi juga sangat berbahaya apabila bocor dan terlepas ke permukaan, karena dapat menimbulkan sesak napas pada manusia dan hewan. Pada tahun 2020, jaringan pipa transportasi CO₂ yang merupakan bagian dari proyek EOR di Mississippi, AS mengalami kerusakan. Akibatnya, lebih dari 200 orang harus dievakuasi dan 45 orang harus menjalani rawat inap karena keracunan karbon dioksida.
Baca Juga: Ruang Hidup dan Tradisi Leluhur Masyarakat Adat Tua di Kutai Kertanegara Terancam Perkebunan Sawit
Permasalahan ketiga dari proyek-proyek CCS/CCUS adalah bahwa pendekatan ini akan melanggengkan inefisiensi energi karena besarnya konsumsi energi yang dibutuhkan dalam fase-fase tertentu operasi CCS.
Fase yang paling membutuhkan energi adalah penangkapan dan kompresi karbon dengan sejumlah tambahan lain yang diperlukan untuk transportasi dan penyimpanan. Sebab CO₂ perlu dicairkan lebih dahulu untuk transportasi dan penyimpanan yang efisien.
Energi yang dibutuhkan saat fase penangkapan dan kompresi dapat mencapai 330–420 kWh per ton CO₂ yang ditangkap. Secara rata-rata proyek CCS akan mengakibatkan peningkatan permintaan energi hingga sebesar 15 persen –25 persen dari fasilitas penangkapan karbon mereka.
Baca Juga: Serba Serbi Diskusi Pertambangan di Kampus Ganesha
Masalah keempat dari proyek-proyek CCS/CCUS adalah masalah memastikan penyimpanan permanen. Agar CCS menjadi pilihan yang layak untuk dekarbonisasi, penting untuk memastikan bahwa karbon dapat disimpan dalam keadaan stabil secara permanen.
IPCC menggunakan kata “durably” atau “awet/tahan lama” untuk menggambarkan penyimpanan CO₂ di reservoir geologis, baik di daratan maupun di laut, atau dalam produk untuk Penghapusan Karbon Dioksida/Carbon Dioxide Removal (CDR). Tidak ada definisi yang jelas mengenai jangka waktu yang dimaksud dengan “awet/tahan lama” ini, tetapi beberapa pihak menyebutkan setidaknya dibutuhkan 200-300 tahun untuk menyimpan CO₂.
Discussion about this post