Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Selatan Muhammad Al Amin menjelaskan, saat ini 52 persen cadangan nikel dunia ada di Indonesia. Pemerintah pun terpikat menggenjot produksi nikel untuk kepentingan mobil listrik.
“Seharusnya pemerintah mempertimbangkan secara matang antara ingin melancarkan ambisinya sebagai negara produsen nikel terbesar ataukah ingin menjaga ruang hidup masyarakat,” kata Amin.
Baca Juga: Pelarangan Ekspor Batu Bara Bukan Solusi, Harus Percepat Transisi Energi Terbarukan
Mengingat saat ini, luas IUP tambang di Sulawesi mencapai 690.442 hektare berada dalam wilayah esensial. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ternyata telah melepas kawasan hutan seluas 48.821,98 hektare menjadi wilayah pertambangan melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk 74 perusahaan. Sementara kondisi eksisting luasan IUP nikel di Pulau Sulawesi terdiri dari 87.556 hektare di Sulsel, 92.604 hektare di Sulteng, dan 510.282 hektare di Sultra.
“Khusus untuk di Sulsel ada tujuh perusahaan nikel yang telah mendapatkan IUP. Dampaknya, telah terjadi pencemaran dan sedimentasi sangat parah di Danau Mahalona, sungai, pesisir, Laut, dan Pulau Mori di Luwu Timur,” tambahnya.
Selain itu, Amin juga menjelaskan bahwa sudah banyak perusahaan yang telah melakukan pencemaran, tetapi tidak dilakukan upaya penegakan hukum. Semestinya kepolisian melakukan penindakan terhadap perusahaan yang melakukan pelanggaran lingkungan.
“Jangan sampai kami bangga menggunakan kendaraan listrik, tetapi tidak diketahui bahwa energi listrik tersebut berasal dari perampasan ruang hidup dan penghancuran ekosistem esensial di Sulawesi,” tukas Amin.
Baca Juga: Trend Asia: Larangan Ekspor Batu Bara Diduga PLN Terancam Krisis
Sementara Direktur Eksekutif Daerah Sulawesi Utara Theo Runtewene mengingatkan, situasi di Sulawesi Utara saat ini sudah sangat genting akibat provinsi tersebut dijadikan pintu gerbang kawasan Pasifik. Artinya, Sulut menjadi daerah prioritas pembangunan nasional yang konsekuensinya ada banyak proyek strategis dilakukan di sana. Beberapa di antaranya adalah kawasan ekonomi khusus dan pembangunan pelabuhan internasional sebagai jalur keluar-masuk melalui Pelabuhan Bitung.
“Nantinya, berbagai bentuk perusakan lingkungan hidup akan begitu nyata,” kata Theo.
Mereka menyatakan, kemajuan peradaban tanpa lingkungan hidup yang baik dan sehat tetap akan menimbulkan bencana. Oleh karena itu, Walhi Region Sulawesi akan tetap mengampanyekan secara lokal, nasional, dan internasional terkait daya rusak ekspansi pertambangan nikel bagi lingkungan hidup dan masyarakat di Pulau Sulawesi.
Melalui Catahu 2021, Walhi Region Sulawesi menuntut pemerintah untuk melakukan moratorium tambang nikel di Sulawesi, meninjau ulang izin-iin tambang nikel di Sulawesi, menyelamatkan hutan tropis Sulawesi, serta menyelamatkan rakyat Sulawesi dari kerusakan ekosistem lingkungan hidup. [WLC02]
Discussion about this post