Wanaloka.com – Hati-hati bagi penggila kerja alias workaholic yang hidup dengan ritme serba cepat, hanya mengejar target dan target untuk harapan yang tinggi. Tren pekerja yang banyak dijumpai zaman kini. Dan ternyata gaya hidup hustle culture dan imposter syndrome itu bisa menjadi toksik yang berbahaya bagi kesehatan mentalnya. Apakah itu?
Lulusan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair), Pauline Ciuputri menjelaskan, hustle culture merujuk pada kebiasaan seseorang yang bekerja terlalu keras hingga mengorbankan kesenangan diri. Gaya hidup ini diadopsi sebagai mekanisme pertahanan untuk memenuhi kebutuhan dan melampaui harapan yang tinggi.
Pauline mencontohkan kasus kemiskinan akibat pandemi. Berdasarkan data ADB 2021, ada 10,1 persen penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sekitar 27,6 juta orang mau tidak mau harus kerja keras demi bertahan hidup, belum lagi karena dampak pandemi.
Baca Juga: Stop Stigma Buruk, Gangguan Kesehatan Mental Lekas Pulih
Belum lagi penggunaan media sosial yang berpotensi menormalisasi budaya kerja berlebih. Padahal berdampak menimbulkan kelelahan fisik dan mental.
“Dan orang-orang yang mencapai hal-hal luar biasa justru menganggapnya biasa saja. Tidak heran menjadi sebuah rutinitas,” kata Pauline dalam webinar internasional bertajuk “Nowadays Trend: Hustle Culture and Imposter Syndrome. Productivity or Workaholic?”, 1 Oktober 2022.
Sementara tren budaya gila kerja yang banyak dianut generasi muda justru berpotensi menjadi toksik saat seseorang masih meragukan dirinya terkait usaha dan prestasi yang telah diraih. Para ahli menyebut dengan istilah imposter syndrome sebagai kondisi psikologis yang dapat dialami siapa saja. Terlepas dari pekerjaan atau status sosial.
Baca Juga: Pelatihan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas Mental Digelar di Yogyakarta
Survei ilmiah terbaru mencatat bahwa lebih dari 70 persen orang di dunia pernah berurusan dengan pengalaman tersebut.
Discussion about this post