Wanaloka.com – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berupaya melakukan mitigasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah rentan, seperti Pulau Sumatra dan Kalimantan. Salah satunya dengan menggencarkan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) untuk mengisi kubah air di lahan gambut yang menjadi sumber utama karhutla terjadi.
“Efektifitas pembasahan lahan gambut untuk mitigasi karhutla sudah terbukti. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun telah terjadi pelambatan lonjakan hotspot (titik panas) di Sumatra dan Kalimantan,” papar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Puncak Hari Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (HMKG) ke-77 bertema “BMKG Dukung Nusantara Baru Untuk Indonesia Maju” pda 21 Juli 2024.
Ia mencontohkan, pada tahun 2014-2015 Provinsi Riau yang menjadi daerah rawan karhutla mengalami kenaikan hotspot pada bulan Februari-Maret. Kemudian mencapai puncak pada Juli, Agustus, dan September.
Baca Juga: Peringkat Kedua Indeks Risiko Bencana, Indonesia Jadi Laboratorium Kebencanaan
Namun seiring masifnya OMC pada musim transisi kemarau, yakni tahun 2019, puncak hotspot di Riau baru terjadi pada September dengan jumlah titik yang melandai.
Provinsi Riau merupakan salah satu lokasi rawan karhutla dari tahun ke tahun. Peringkatnya termasuk 10 besar provinsi dengan luas area lahan karhutla terbesar. Pada tahun 2009, luasan lahan yang terbakar di Riau adalah 120,504 hektare, 183,809 hektare pada 2015, 90,550 hektare pada 2019, kemudin menurun signifikan pada 2023 yaitu 7,267 hektare.
“Hotspot di Riau berkurang 93,9 persen pada tahun 2023 jika dibandingkan tahun 2019,” jelas Dwikorita.
Baca Juga: Jadikan Pengelolaan Sampah Gaya Hidup Menuju Zero Waste Zero Emission 2050
Penurunan jumlah hotspot juga terjadi di Kalimantan. Di mana kenaikan hotspot yang biasa terjadi pada Agustus, kini melambat menjadi September, bahkan Oktober. Seperti Kalimantan Tengah pada 2009, luasan area yang terbakar yaitu 247,942 hektare. Kemudian 583, 833 hektare pada 2015, menurun menjadi 317,749 hektare pada 2019, dan 165,896 hektare pada 2023.
Penurunan ini sangat signifikan di tengah kondisi Indonesia dilanda El Nino pada 2019 dan 2023 yang menyebabkan kemarau lebih kering dan panjang dari biasanya. Menurut Dwikorita, kondisi itu mengindikasikan OMC berhasil menekan laju kenaikan hotspot di dua pulau langganan karhutla, Sumatra dan Kalimantan.
“Ada delay lonjakan hotspot mengindikasikan periode kekeringan berhasil dipersingkat,” ujar dia.
Baca Juga: Sang Kompiang, Indonesia Baru Mampu Memproduksi 12 dari 200 Minyak Atsiri
Artinya, menurut Dwikorita, periode kekeringan yang menjadi sumber pemicu tingginya lonjakan hotspot berhasil dipersingkat karena saat periode transisi ke musim kemarau, gambut sudah lebih basah. Air-air yang berhasil disimpan pada kubah gambut juga bisa digunakan untuk water bombing apabila karhutla terjadi.
OMC untuk Mitigasi Karhutla
Berdasarkan Perpres Nomor 12 Tahun 2024, BMKG telah diamanatkan memiliki Kedeputian Modifikasi Cuaca yang memiliki tugas utama menyelenggarakan koordinasi, perumusan, pelaksanaan kebijakan umum, dan teknis di bidang modifikasi cuaca. Kehadiran deputi baru ini akan lebih mengintensifkan OMC pada masa mendatang.
Saat ini pun, lanjut dia, telah terjadi perubahan paradigma pemanfaatan OMC di Indonesia dan membuktikan implementasi yang dilakukan berjalan efektif. Di mana sejak tahun 2015, OMC dilakukan untuk upaya mitigasi bencana. Bukan lagi digunakan dalam penanganan ketika karhutla sudah terjadi.
Discussion about this post