Baca Juga: Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki Warga dari Enam Desa Akan Direlokasi
Pengelolaan Kawasan Konservasi Pasca UU 32 Tahun 2024
Sementara Kepala Balai Taman Nasional Gunung Tambora, Deny Rahadi menjadi dosen tamu dalam mata kuliah Manajemen Kawasan Konservasi Program Studi Rekayasa Kehutanan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB) pada 5 November 2024. Kuliah tamu berjudul “Dinamika Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya Pasca Keluarnya UU No. 32 Tahun 2024” itu digelar secara hybrid di Gedung Kuliah Umum (GKU) 3 ITB Jatinangor.
Deny memaparkan tiga bahasan utama, yakni klasifikasi hutan, metamorfosis pengelolaan Taman Nasional Tambora, hingga dinamika konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDAHE) pasca terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2024.
Di kawasan konservasi, terdapat prinsip 3P yang saat ini diperkuat dengan UU Nomor 32 Tahun 2024, yakni perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan. Pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, terdapat pengurusan hutan, perencanaan kehutanan, serta pengelolaan hutan. Tata hutan adalah pembagian kawasan hutan dalam blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi, dan rencana pemanfaatan hutan.
Baca Juga: Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki Warga dari Enam Desa Akan Direlokasi
Tata hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021. Secara umum, hutan dibagi menjadi tiga, yakni hutan produksi, hutan lindung, serta hutan konservasi. Pada hutan konservasi, menurut undang-undang sebelumnya terdapat Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), serta Taman Buru.
Deny juga menjelaskan terkait metamorfosis Taman Nasional Tambora. Bahwa semula pada 1937 berstatus sebagai kawasan hutan, lalu pada 1999 ditingkatkan statusnya menjadi Kawasan Suaka Alam. Kemudian pada 2013 diubah menjadi Kawasan Pelestarian Alam, serta berubah status lagi menjadi Taman Nasional pda 2015.
“Dan 2016, pengelolaan area Taman Nasional beralih ke Balai Taman Nasional Tambora. Terakhir pada 2020 terdapat revisi zonasi,” imbuh Deny.
Baca Juga: Strategi Nasional Antisipasi KLB Demam Berdarah Dengue di Indonesia
Sementara UU Nomor 32 Tahun 2024 memperkuat UU Nomor 5 Tahun 1990 yang telah berlaku selama lebih dari 30 tahun. Seperti penguatan peran dan tanggung jawab penyelenggaraan pelestarian KSDAHE, penguatan lokus kegiatan konservasi, Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Kawasan Konservasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKPWP3K), dan Area Preservasi, penguatan aspek pengawetan dan pemanfaatan bagi sumber daya genetik, penguatan peran serta masyarakat termasuk masyarakat adat, penguatan aspek pendanaan dan biodiversitas, serta penegakan hukum.
Pada UU Nomor 32 Tahun 2024, terdapat pendefinisian baru yakni Areal Preservasi. Selain itu, penambahan frasa Pemerintah Daerah, serta pelimpahan KKPWP3K ke kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kemudian, terdapat Areal Preservasi yakni daerah penyangga KSA, KPA, dan KKPWP3K, areal dengan nilai konservasi tinggi, areal konservasi kelola masyarakat, serta daerah perlindungan kearifan lokal. Sehingga Areal Preservasi dapat berasal dari hutan lindung, hutan produksi, serta areal penggunaan lain (APL).
Baca Juga: BMKG, Pemicu Gempa Pesisir Barat Lampung Deformasi Batuan Dalam Lempeng
Selain itu, ia menjelaskan pada undang-undang terbaru terdapat frasa pengawetan keanekaragaman genetik. Dalam rangka kerja sama konservasi internasional, KSA dan/atau Kawasan tertentu dapat diusulkan menjadi Cagar Biosfer dan status internasional lainnya.
“Beberapa kawasan konservasi sudah ditetapkan sebagai Cagar Biosfer dan status internasional lainnya, tetapi kemungkinan,” tutur dia.
Dalam UU tersebut, pendayagunaan air di kawasan konservasi oleh masyarakat diperbolehkan setelah sebelumnya dilarang.
“Tapi dengan mekanisme tertentu. Dan untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya kegiatan sosial oleh perorangan dan tidak mengandung unsur komersial, tidak melalui mekanisme izin, itu bisa dilakukan di semua kawasan konservasi. Jadi UU Nomor 17 Tahun 2019 Pasal 33 dan 69C tentang sumber daya air yang melarang daya guna air di KSA dan KPA dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ini penguatan kembali bahwa konservasi itu keberpihakannya pada masyarakat sangat tinggi,” kata dia. [WLC02]
Discussion about this post