Setiap langkah Rahma adalah keputusan. Sebagai seorang ibu dengan anak kecil, dan seorang istri yang terpisah jarak dari suami, hidupnya adalah arena kompromi yang tak selalu adil. Kadang, konflik satwa datang saat ia sedang menidurkan anak. Kadang, evakuasi satwa memaksanya pulang tengah malam dengan tubuh letih dan batin gamang.
Baca juga: Gunung Argopuro dan Aliran Sungai Kolbu di Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang
“Tugas ini memang pilihan. Tapi tidak boleh ada yang benar-benar dikorbankan,” ucap dia lirih.
Kalimat itu mengendap dalam, seolah menyiratkan kesunyian seorang Kartini yang tak banyak diceritakan.
Namun di balik kesulitan itu, ada kebahagiaan kecil namun bermakna besar. Seperti ketika seekor satwa berhasil dievakuasi tanpa terluka, atau saat warga yang semula menolak akhirnya bersedia melepaskan satwa peliharaan liar ke alam. Rahma menyebutnya “kemenangan sunyi”, karena tidak selalu mendapat sorotan, namun berdampak nyata.
Baca juga: Pembangunan PLTN Mulai 2030, BRIN Ingatkan Perubahan Desain dan Keamanan
Di Hari Kartini ini, Rahma Widyanti bukan sedang memperjuangkan emansipasi dalam pidato, tapi dalam langkah nyata di lapangan. Ia adalah gambaran Kartini masa kini, yang mengenakan seragam rimbawan, memegang alat dokumentasi satwa, dan berani mengambil keputusan dalam sunyi.
Dunia konservasi bukan milik laki-laki saja. Alam pun tak membedakan siapa yang melindunginya, asal dilakukan dengan cinta dan kesungguhan. Dan di tengah medan berat itulah, Rahma tetap berjalan, dengan langkah pasti seorang perempuan, seorang ibu, dan seorang pemimpin “Pejuang Kilometer”. [WLC02]
Sumber: KSDAE Kementerian Kehutanan
Discussion about this post