Wanaloka.com – Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 mengundang penolakan anggota DPR. Setidaknya tiga kementerian sebagai mitra DPR, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diundang. Berbagai kritikan mulai dari pengkajian ulang hingga pencabutan disampaikan para legislator. Apa saja kritikannya?
Jangan Sembrono Ekspor Pasir Laut
Anggota Komisi VI DPR Luluk Nur Hamidah meminta pemerintah mengkaji ulang PP 26tersebut. Aturan tersebut membuka kembali larangan ekspor pasir laut yang sudah 20 tahun ditutup.
“Saya harap pemerintah tidak sembrono menerbitkan kebijakan. Saya minta PP ini perlu dikoreksi, dikaji ulang, bahkan kalau perlu dibatalkan,” kata Luluk dalam keterangan tertulis pada 7 Juni 2023.
Baca Juga: KKP Berdalih Ekspor Pasir Laut Cegah Kerusakan Terumbu Karang
Luluk menjelaskan, penyusunan PP memang ranah pemerintah. Namun Indonesia perlu belajar dari kebijakan masa lalu mengenai ekspor pasir laut yang menuai banyak protes.
Sejak 2003, Indonesia telah konsisten melarang ekspor pasir laut dengan pertimbangan lingkungan. Presiden Megawati Soekarnoputri merestui penghentian ekspor pasir laut lewat Permenperin Nomor 117 Tahun 2003.
Larangan tersebut bertujuan menghentikan kerusakan lingkungan, mencegah kaburnya batas maritim, serta menghentikan kerusakan pulau-pulau kecil. Larangan tersebut memang memunculkan permasalahan, termasuk ada beragam aksi pengiriman pasir secara ilegal.
Baca Juga: Indonesia Produksi Kendaraan Listrik, Pembangkit Listrik Masih dari Batu Bara
Namun pemerintah justru harus mempertegas larangan, bukan malah membuat aturan yang di dalamnya membuka kembali izin ekspor pasir laut.
“Langkah membuka ekspor pasir laut dari hasil sedimentasi laut dikhawatirkan upaya melegalisasi untuk membawa pasir laut ke luar negeri,” tutur Legislator Dapil Jawa Tengah IV ini.
Luluk pun kembali meminta pemerintah mencabut PP 26 itu. Sebab aturan yang membuka kembali izin ekspor pasir laut dinilai lebih banyak mudharatnya, ketimbang manfaatnya.
Baca Juga: FAO Prediksi 2050 Dunia Kelaparan Akibat Pemanasan Global
“Kita dulu gagal mencegah kebocoran penyelundupan pasir laut yang melibatkan oknum aparat dan penguasa. Dan tidak ada jaminan kita tidak mengulang kembali jika peluang ini dibuka,” papar Politisi Fraksi PKB ini.
Perempuan yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR itu mendorong pemerintah mempertimbangkan dampak jangka panjang pengerukan pasir laut. Luluk mengingatkan, pengerukan pasir laut dapat merusak kelestarian lingkungan.
Di sisi lain, ekspor pasir laut dinilai juga dapat mengakibatkan berkurangnya sumber daya lingkungan. Kebijakan tersebut pun membuka pintu eksploitasi pasir laut yang secara langsung mengancam eksistensi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Baca Juga: Prof Ronny: Tren Lemak Hewan sebagai Bahan Bakar Dunia Penerbangan
“Pemerintah terkesan mengulang kembali kebijakan yang pernah dilarang karena membahayakan ekologi demi kepentingan ekonomi semata. Padahal kondisi ekologi laut kita sedang tidak baik-baik saja, ditandai dengan kerusakan serius mangrove di sejumlah wilayah dan abrasi yang terus berlangsung,” sebut Luluk.
Luluk memastikan akan mengawal kebijakan pengerukan pasir laut itu. Luluk dengan tegas menolak kebijakan tersebut dan berharap pemerintah mendengar masukan-masukan dari berbagai pihak, mengingat banyak kritikan terkait aturan tersebut. Ia menyebut, pasir laut merupakan isu krusial yang mencakup ekologi hingga kedaulatan negara.
PP 26 Tidak Transparans
Anggota Komisi IV DPR Yohanis Fransiskus Lema menilai proses penyusunan PP 26 tidak transparan dan minim partisipasi publik. Ia meminta penjelasan pemerintah terkait kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut dan ekspor pasir laut.
Baca Juga: Pemerintah Promosikan IKN Lewat Hari Lingkungan Hidup dan Ajakan Investasi
Ia menambahkan, klaim pemerintah bahwa proses penyusunan PP itu telah berlangsung selama dua tahun dinilai minim partisipasi publik. Sebagai mitra pemerintah, DPR juga tidak pernah diajak diskusi. Bahkan kajian naskah akademis yang melandasi peraturan itu juga tidak dibuka ke publik. Seharusnya produk perundang-undangan disertai dengan konsultasi publik dan sosialisasi, baik melibatkan masyarakat, pegiat lingkungan hidup, akademisi, atau lembaga swadaya masyarakat.
”DPR memanggil pemerintah untuk meminta penjelasan dan motif terbitnya PP tersebut. Kami sama sekali tidak tahu-menahu dan tidak diajak diskusi. Proses pembuatannya tertutup dari publik. Kami baru tahu setelah PP ini keluar,” kata Fransiskus dalam keterangan tertulisnya pada 7 Juni 2023.
Lanjutnya, pemerintah seharusnya transparan terhadap kebijakan yang sangat berdampak pada masyarakat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir. Penyusunan PP yang terkesan sepihak dikhawatirkan hanya sekadar berorientasi ekonomi dan penerimaan negara, tetapi melupakan pertimbangan ekologi.
Baca Juga: Menuntaskan Masalah Sampah dari Hulu ke Hilir Versi KLHK
Saat ini, DPR tengah menyusun revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Salah satu substansi dari revisi itu terkait upaya menjaga keseimbangan ekosistem dan ekologi, termasuk aktivitas ekonomi di ruang laut untuk tidak mengganggu proses konservasi. Pihaknya akan melihat sejauh mana substansi PP 26 terhadap revisi UU KSDAHE.
Terakhir, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menyatakan Penyusunan PP memang ranah pemerintah. Namun, Indonesia perlu belajar dari kebijakan masa lalu mengenai ekspor pasir laut yang menuai banyak protes dan aspirasi publik yang menuntut untuk dihentikan.
Senada, Anggota Komisi IV DPR Slamet juga menilai beleid tersebut kurang ada transparansi. Sebab tidak ada keterlibatan publik serta pengawasan yang lemah sehingga dikhawatirkan akan merusak ekologi.
Baca Juga: Tahun Politik 2024, Walhi Serukan Konsolidasi Keadilan Sosial Ekologis
“Biasanya RPP juga minimal angin-angin sayup dengerlah. Oh mau ada PP ini. Tahu-tahu langsung muncul PP. Ini membuat kami curiga. Apalagi setelah kami membaca isinya,” ujar Slamet dalam Rapat Kerja Komisi IV dengan Menteri Kelautan dan Perikanan di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta pada 12 Juni 2023.
Menurut dia, perlu ada ruang terbuka khusus untuk membahas PP tersebut agar ada transparansi. Lantaran dikhawatirkan ada penumpang gelap yang menumpang dalam penerbitan regulasi ini.
“Betul-betul transparansi ada, Pak. Apakah dengan alat yang canggih, tidak akan merusak? Jurnalnya mana? Kami kan posisinya memberikan dukungan kalau ini memang menghadirkan PNBP,” tutur Slamet.
Baca Juga: Yogyakarta Diguncang Gempa Dangkal 6,0 Magnitudo Aftershocks 29 Kali Terjadi
Terkait dengan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), Politisi Fraksi PKS itu juga turut mempertanyakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengenai kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut. Ia mempertanyakan apakah kebijakan tersebut menjadi bagian dari upaya mengejar PNBP yang ditargetkan Sakti ketika dilantik, yakni sebesar Rp6 triliun.
“Kami Komisi IV mitranya, juga harus mengawal ekologi. Jangan sampai ekologi dikalahkan dengan ekonomi sehingga ekologi kita rusak,” tegas Slamet.
Legislator dapil Jawa Barat IV itu mengusulkan untuk ada pembahasan seperti Focus Group Discussion(FGD) terkait PP 26. Lantaran dia juga ragu dengan pengawasan terhadap PP tersebut yang dinilai masih lemah dan dikhawatirkan hanya akan merusak ekologi di ruang laut.
Baca Juga: Kemarau Lebih Kering Tujuh Provinsi Ini Berpotensi Karhutla Lebih Besar
Discussion about this post