Selasa, 17 Juni 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Ramai-ramai Legislator Mengkritisi PP 26 yang Mengatur Ekspor Pasir Laut

Tak hanya aktivis dan pemerhati lingkungan. Anggota DPR pun mengkritik penerbitan PP Nomor 26 Tahun 2023 yang tiba-tiba itu. Apa saja kritikannya?

Jumat, 16 Juni 2023
A A
Ilustrasi pasir laut. Foto PublicDomainPictures/pixabay.com.

Ilustrasi pasir laut. Foto PublicDomainPictures/pixabay.com.

Share on FacebookShare on Twitter

Wanaloka.com – Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 mengundang penolakan anggota DPR. Setidaknya tiga kementerian sebagai mitra DPR, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diundang. Berbagai kritikan mulai dari pengkajian ulang hingga pencabutan disampaikan para legislator. Apa saja kritikannya?

Jangan Sembrono Ekspor Pasir Laut
Anggota Komisi VI DPR Luluk Nur Hamidah meminta pemerintah mengkaji ulang PP 26tersebut. Aturan tersebut membuka kembali larangan ekspor pasir laut yang sudah 20 tahun ditutup.

“Saya harap pemerintah tidak sembrono menerbitkan kebijakan. Saya minta PP ini perlu dikoreksi, dikaji ulang, bahkan kalau perlu dibatalkan,” kata Luluk dalam keterangan tertulis pada 7 Juni 2023.

Baca Juga: KKP Berdalih Ekspor Pasir Laut Cegah Kerusakan Terumbu Karang

Luluk menjelaskan, penyusunan PP memang ranah pemerintah. Namun Indonesia perlu belajar dari kebijakan masa lalu mengenai ekspor pasir laut yang menuai banyak protes.

Sejak 2003, Indonesia telah konsisten melarang ekspor pasir laut dengan pertimbangan lingkungan. Presiden Megawati Soekarnoputri merestui penghentian ekspor pasir laut lewat Permenperin Nomor 117 Tahun 2003.

Larangan tersebut bertujuan menghentikan kerusakan lingkungan, mencegah kaburnya batas maritim, serta menghentikan kerusakan pulau-pulau kecil. Larangan tersebut memang memunculkan permasalahan, termasuk ada beragam aksi pengiriman pasir secara ilegal.

Baca Juga: Indonesia Produksi Kendaraan Listrik, Pembangkit Listrik Masih dari Batu Bara

Namun pemerintah justru harus mempertegas larangan, bukan malah membuat aturan yang di dalamnya membuka kembali izin ekspor pasir laut.

“Langkah membuka ekspor pasir laut dari hasil sedimentasi laut dikhawatirkan upaya melegalisasi untuk membawa pasir laut ke luar negeri,” tutur Legislator Dapil Jawa Tengah IV ini.

Luluk pun kembali meminta pemerintah mencabut PP 26 itu. Sebab aturan yang membuka kembali izin ekspor pasir laut dinilai lebih banyak mudharatnya, ketimbang manfaatnya.

Baca Juga: FAO Prediksi 2050 Dunia Kelaparan Akibat Pemanasan Global

“Kita dulu gagal mencegah kebocoran penyelundupan pasir laut yang melibatkan oknum aparat dan penguasa. Dan tidak ada jaminan kita tidak mengulang kembali jika peluang ini dibuka,” papar Politisi Fraksi PKB ini.

Perempuan yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR itu mendorong pemerintah mempertimbangkan dampak jangka panjang pengerukan pasir laut. Luluk mengingatkan, pengerukan pasir laut dapat merusak kelestarian lingkungan.

Di sisi lain, ekspor pasir laut dinilai juga dapat mengakibatkan berkurangnya sumber daya lingkungan. Kebijakan tersebut pun membuka pintu eksploitasi pasir laut yang secara langsung mengancam eksistensi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Baca Juga: Prof Ronny: Tren Lemak Hewan sebagai Bahan Bakar Dunia Penerbangan

“Pemerintah terkesan mengulang kembali kebijakan yang pernah dilarang karena membahayakan ekologi demi kepentingan ekonomi semata. Padahal kondisi ekologi laut kita sedang tidak baik-baik saja, ditandai dengan kerusakan serius mangrove di sejumlah wilayah dan abrasi yang terus berlangsung,” sebut Luluk.

Luluk memastikan akan mengawal kebijakan pengerukan pasir laut itu. Luluk dengan tegas menolak kebijakan tersebut dan berharap pemerintah mendengar masukan-masukan dari berbagai pihak, mengingat banyak kritikan terkait aturan tersebut. Ia menyebut, pasir laut merupakan isu krusial yang mencakup ekologi hingga kedaulatan negara.

PP 26 Tidak Transparans
Anggota Komisi IV DPR Yohanis Fransiskus Lema menilai proses penyusunan PP 26 tidak transparan dan minim partisipasi publik. Ia meminta penjelasan pemerintah terkait kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut dan ekspor pasir laut.

Baca Juga: Pemerintah Promosikan IKN Lewat Hari Lingkungan Hidup dan Ajakan Investasi

Ia menambahkan, klaim pemerintah bahwa proses penyusunan PP itu telah berlangsung selama dua tahun dinilai minim partisipasi publik. Sebagai mitra pemerintah, DPR juga tidak pernah diajak diskusi. Bahkan kajian naskah akademis yang melandasi peraturan itu juga tidak dibuka ke publik. Seharusnya produk perundang-undangan disertai dengan konsultasi publik dan sosialisasi, baik melibatkan masyarakat, pegiat lingkungan hidup, akademisi, atau lembaga swadaya masyarakat.

”DPR memanggil pemerintah untuk meminta penjelasan dan motif terbitnya PP tersebut. Kami sama sekali tidak tahu-menahu dan tidak diajak diskusi. Proses pembuatannya tertutup dari publik. Kami baru tahu setelah PP ini keluar,” kata Fransiskus dalam keterangan tertulisnya pada 7 Juni 2023.

Lanjutnya, pemerintah seharusnya transparan terhadap kebijakan yang sangat berdampak pada masyarakat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir. Penyusunan PP yang terkesan sepihak dikhawatirkan hanya sekadar berorientasi ekonomi dan penerimaan negara, tetapi melupakan pertimbangan ekologi.

Baca Juga: Menuntaskan Masalah Sampah dari Hulu ke Hilir Versi KLHK

Saat ini, DPR tengah menyusun revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Salah satu substansi dari revisi itu terkait upaya menjaga keseimbangan ekosistem dan ekologi, termasuk aktivitas ekonomi di ruang laut untuk tidak mengganggu proses konservasi. Pihaknya akan melihat sejauh mana substansi PP 26 terhadap revisi UU KSDAHE.

Terakhir, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menyatakan Penyusunan PP memang ranah pemerintah. Namun, Indonesia perlu belajar dari kebijakan masa lalu mengenai ekspor pasir laut yang menuai banyak protes dan aspirasi publik yang menuntut untuk dihentikan.

Senada, Anggota Komisi IV DPR Slamet juga menilai beleid tersebut kurang ada transparansi. Sebab tidak ada keterlibatan publik serta pengawasan yang lemah sehingga dikhawatirkan akan merusak ekologi.

Baca Juga: Tahun Politik 2024, Walhi Serukan Konsolidasi Keadilan Sosial Ekologis

“Biasanya RPP juga minimal angin-angin sayup dengerlah. Oh mau ada PP ini. Tahu-tahu langsung muncul PP. Ini membuat kami curiga. Apalagi setelah kami membaca isinya,” ujar Slamet dalam Rapat Kerja Komisi IV dengan Menteri Kelautan dan Perikanan di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta pada 12 Juni 2023.

Menurut dia, perlu ada ruang terbuka khusus untuk membahas PP tersebut agar ada transparansi. Lantaran dikhawatirkan ada penumpang gelap yang menumpang dalam penerbitan regulasi ini.

“Betul-betul transparansi ada, Pak. Apakah dengan alat yang canggih, tidak akan merusak? Jurnalnya mana? Kami kan posisinya memberikan dukungan kalau ini memang menghadirkan PNBP,” tutur Slamet.

Baca Juga: Yogyakarta Diguncang Gempa Dangkal 6,0 Magnitudo Aftershocks 29 Kali Terjadi

Terkait dengan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), Politisi Fraksi PKS itu juga turut mempertanyakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengenai kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut. Ia mempertanyakan apakah kebijakan tersebut menjadi bagian dari upaya mengejar PNBP yang ditargetkan Sakti ketika dilantik, yakni sebesar Rp6 triliun.

“Kami Komisi IV mitranya, juga harus mengawal ekologi. Jangan sampai ekologi dikalahkan dengan ekonomi sehingga ekologi kita rusak,” tegas Slamet.

Legislator dapil Jawa Barat IV itu mengusulkan untuk ada pembahasan seperti Focus Group Discussion(FGD) terkait PP 26. Lantaran dia juga ragu dengan pengawasan terhadap PP tersebut yang dinilai masih lemah dan dikhawatirkan hanya akan merusak ekologi di ruang laut.

Baca Juga: Kemarau Lebih Kering Tujuh Provinsi Ini Berpotensi Karhutla Lebih Besar

Terkait

Page 1 of 2
12Next
Tags: DPRekspor pasir lautPP Nomor 26 Tahun 2023revolusi biruRUU KSDAHE

Editor

Next Post
Bencana longsor di Kota Ambon, Provinsi Maluku, yang dipicu hujan dan struktur tanah. Foto BNPB.

Bencana Longsor Kota Ambon, 121 Rumah Warga Rusak

Discussion about this post

TERKINI

  • Dua perempuan menanam padi di sawah. Foto Wanaloka.com.Teknik Alternate Wetting and Drying Hasilkan Padi Berkualitas dan Rendah Karbon
    In IPTEK
    Senin, 16 Juni 2025
  • Ilustrasi emisi karbon akibat deforestasi. Foto bones64/pixabay.comDokumen Second NDC Disusun, Menhut Minta Lebih Realistis dan Teknokratis
    In News
    Senin, 16 Juni 2025
  • Peneliti Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB University, Maryati Surya. Foto Dok. IPB University.Maryati Surya, Tupai dan Bajing Itu Tak Sama
    In Sosok
    Minggu, 15 Juni 2025
  • Peresmian Gedung Backup Sistem Peringatan Dini Multi Bahaya BMKG di Badung, Bali, 14 Juni 2025. Foto Dok. BMKG.Gedung Backup Sistem Peringatan Dini Multi Bahaya Beroperasi 24 Jam Merespons Bencana
    In IPTEK
    Minggu, 15 Juni 2025
  • Keindahan pemandangan lautan di Raja Ampat, Ppaua Barat Daya. Foto Dok. Kemenpar.Pro Kontra Isu Tambang Nikel, Kemenpar Sebut Raja Ampat Aman Dikunjungi
    In Traveling
    Sabtu, 14 Juni 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media