Wanaloka.com – Sejumlah akademisi yang bergabung dalam Solidaritas Akademisi untuk Wadas, Kaukus untuk Kebebasan Akademik (Kika), dan sejumlah NGO mendesak Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk mencabut izin lingkungan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) Bendungan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
“Dokumen Andal disusun dengan metode yang tidak valid. Jadi tidak layak dijadikan acuan pengambilan keputusan atau kebijakan,” kata Rina Mardiana dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam siaran pers usai acara Bedah Andal secara daring pada 17 Februari 2022.
Atas dasar itu pula, para akademisi juga menyatakan menolak penambangan batuan andesit di Wadas. Koordinator Bidang Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Viky Artiando menjelaskan, dokumen analisis dampak lingkungan (Andal) adalah salah satu materi untuk menyusun Dokumen Amdal.
Baca Juga: Harimau Sumatra dalam Perspektif Masyarakat Sumatera Barat
“Karena Andalnya tidak valid, Amdalnya jadi tidak layak. Izin lingkungannya harus dicabut,” papar Viky saat dihubungi Wanaloka.com, Jumat, 18 Februari 2022.
Rekomendasi tersebut dihasilkan usai para akademisi lintas kampus dan lintas disiplin ilmu serta sejumlah NGO, seperti Walhi Yogyakarta, LBH Yogyakarta, Kontras, melakukan bedah Andal Bendungan Bener. Proses bedah Andal melalui dua tahapan. Pertama, delapan akademisi dari Pusat Studi Agraria IPB, Universitas Negeri Semarang, Universitas Negersi Surakarta, dan Universitas Gadjah Mada melakukan kajian lapangan di Wadas. Mereka menggelar diskusi untuk mendengarkan kesaksian dari warga Wadas di Dusun Randuparang.
Ada sekitar 20 warga yang hadir. Selama diskusi, para akademisi mengajukan pertanyaan dan mencoba menafsirkan makna di balik cerita yang disampaikan warga. Hasilnya, penolakan warga atas penambangan batuan andesit merupakan bagian dari eko-spiritualitas warga Wadas. Ritual dan ritus keagamaan menjadi sarana untuk mengkonsolidasikan dan mengorganisir warga dalam menghadapi kekerasan psikis dan fisik warga.
Kedua, bedah Andal diselenggarakan di Kantor Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM. Bedah Andal diikuti warga wadas berusia muda, akademisi dari beberapa universitas dan organisasi non pemerintah yang selama ini melakukan pendampingan hukum bagi warga Wadas. Acara itu juga diawali dengan penyampaian kesaksian dari tiga pemuda Wadas atas pengalaman mereka dalam proses penolakan penambangan batuan andesit. Kemudian para pembedah mengajukan pertanyaaan kepada warga untuk memperdalam pemahaman terhadap kondisi warga.
Baca Juga: Banjir di Bogor dan Bekasi Dipicu Hujan Lebat dan Sungai Melimpas, Ketinggian Hampir 2 Meter
Pakar Hukum Lingkungan Universitas Katolik Sugijapranoto, Beni Setianto menyampaikan, bahwa penggabungan dua kegiatan, yaitu pembangunan Bendungan Bener dan penambangan batuan andesit dalam satu Dokumen Andal memiliki dampak yang berbeda. Mengingat Dokumen Andal cenderung hanya mengeksplorasi dampak pembangunan bendungan dibanding dampak penambangan.
Selain itu, Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) juga inilai Beni tidak serius merencanakan potensi dampak yang ditimbulkan dari penambangan. Penyusunan dokumen cenderung meremehkan dampak potensial yang ditimbulkan. Ia mencontohkan, masalah kerawanan sosial yang berpotensi terjadi dalam pembangunan bendungan dan penambangan. Namun potensi ini dengan gampang diselesaikan dengan melakukan sosialisasi kepada warga untuk menyamakan presepsi. “Untuk mengatasi dampak potensial kerawanan sosial dengan melakukan koordinasi bersama aparat kepolisian,” kata Beni.
Pakar Ekologi Politik IPB, Soeryo Adiwibowo menilai, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) pembangunan Bendungan Bener memiliki banyak kelemahan. Penggabungan dua kegiatan dalam satu Andal bisa dilakukan, tetapi harus memisahkan dampak dari dua kegiatan ini secara berbeda. Tujuannya agar dinamika dampak potensial dapat digambarkan secara khusus sesuai dengan wilayah kegiatan. Hal yang sangat fundamental dalam penusunan Andal adalah metode penelitian yang tidak valid dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Purpose sampling cenderung hanya diukur dengan skala ordinal (1,2,3,4) yang memperhitungkan selisih antara besaran dampak pembangunan bendungan dan penambangan dengan tanpa pembangunan bendungan dan penambangan.
Baca Juga: DPR akan Reses, Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi Tak Ada Kejelasan
Meski model ini tidak bermasalah, tetapi apabila model ini digunakan untuk mencari bilangan penjumlah, hasil penjumlahan menjadi tidak valid dan tidak logis. Soeryo mengilustrasikan, dampak terhadap kualitas air (minus 2) + dampak terhadap kerusakan jalan (minus 3) + dampak terhadap peluang usaha (+5), maka kalkulasi angka ini menjadi (-2)+(-3)+5=0. Kekeliruan yang sangat fundamental melakukan kalkulasi perhitungan semacam ini (angka 0) karena seolah maknanya dampak pembangunan bendungan dan penambangan adalah 0. Artinya, ada atau tidaknya pembangunan bendungan dan penambangan, dampaknya 0 alias tidak berdampak.
Discussion about this post