Penasehat hukum Sorbatua lainnya, Audo Sinaga menegaskan putusan MA menguatkan bahwa sejak awal kasus ini diduga merupakan bentuk kriminalisasi untuk melemahkan perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan ruang hidup dan wilayah adat mereka.
Baca juga: Teknik Alternate Wetting and Drying Hasilkan Padi Berkualitas dan Rendah Karbon
Audo mengingatkan putusan MA ini bukan akhir dari perjuangan masyarakat adat. Masih banyak pejuang tanah adat yang dikriminalisasi akibat ketidakhadiran negara dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Audo mendesak negara segera memberikan perlindungan penuh kepada seluruh masyarakat adat.
“Bentuk perlindungan yang dibutuhkan masyarakat adat saat ini adalah sahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat sebagai payung hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak komunitas masyarakat adat di nusantara,” kata dia.
Perjalanan kasus Sorbatua Siallagan
Sorbatua Siallagan adalah keturunan Ompu Umbak Siallagan. Ia merupakan pemimpin Masyarakat Adat Dolok Parmonangan. Ia ditangkap Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada 22 Maret 2024 atas pengaduan PT Toba Pulp Lestari dengan tuduhan membakar dan menduduki kawasan hutan negara. Kisahnya menginspirasi sutradara Garin Nugroho untuk mengangkatnya dalam film berjudul Nyanyi Sunyi dalam Rantang bersama tiga kasus rakyat lainnya.
Baca juga: Dokumen Second NDC Disusun, Menhut Minta Lebih Realistis dan Teknokratis
Penangkapan terjadi saat Sorbatua bersama istrinya sedang membeli pupuk di Parapat, Kabupaten Simalungun. Aksi penangkapan ini mengundang reaksi dari berbagai elemen masyarakat adat dan organisasi sipil yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL. Mereka menuntut pembebasan Sorbatua.
Setelah beberapa hari ditahan di penjara Polda Sumut, penahanan Sorbatua ditangguhkan pada 17 April 2024 atas jaminan dari belasan tokoh masyarakat adat. Namun, Sorbatua kembali ditahan pada 14 Mei setelah kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Simalungun untuk diadili.
Dalam putusan sidang pada 14 Agustus, Pengadilan Negeri Simalungun menyatakan Sorbatua Siallagan bersalah dengan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Namun, putusan tersebut diwarnai dissenting opinion dari Hakim Agung Cory Laia yang menyatakan Sorbatua tidak terbukti bersalah.
Baca juga: Maryati Surya, Tupai dan Bajing Itu Tak Sama
Ketidakpuasan atas putusan tersebut mendorong pihak keluarga melalui TAMAN mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Tim advokasi menegaskan lahan yang dikelola Sorbatua adalah tanah adat, bukan kawasan hutan negara sehingga tidak seharusnya dihukum.
Dalam putusan banding di Pengadilan Tinggi Medan pada 17 Oktober 2024, majelis hakim menjatuhkan vonis bebas untuk Sorbatua Siallagan. Vonis bebas ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung yang membebaskan Sorbatua Siallagan pada Senin, 13 Juni 2025. [WLC02]
Sumber: AMAN
Discussion about this post