Kemudian terbitlah KLHS Pegunungan Kendeng oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2017. Isinya secara jelas menggambarkan ancaman krisis lingkungan apabila aktivitas tambang terus berjalan. KLHS amanat presiden itu juga menjelaskan, jika bencana akibat tambang melanda, maka kerugian bukan hanya alam. Taksiran secara ekonomi terhadap masyarakat terdampak juga tidak sedikit.
Baca Juga: Ini Sumber Gempa Aceh dan Jawa Timur
Ada dua hal yang didesak JM-PPK dalam surat tersebut. Pertama, mengingatkan KSP untuk memberikan informasi detail terkait dampak banjir di wilayah Pegunungan Kendeng. Kedua, memberi beberapa masukan konkrit untuk kembali meninjau pertambangan di wilayah Pati berdasarkan KLHS Pegunungan Kendeng dan meninjau kembali Perda RTRW Pati.
Perwakilan JM-PPK, Gunretno mengungkapkan masyarakat ‘terpaksa’ berstrategi agar tetap mempunyai cadangan pangan akibat banjir ini. Para petani di Kendeng telah memajukan masa tanamnya agar panen sebelum Desember. Mengingat beberapa lahan pertanian menggantungkan airnya dari Pegunungan Kendeng. Namun pertambangan malah memperparah kondisi banjir.
“Padahal warga telah lama menolak pabrik semen. Kekhawatiran terus terjadi, sehingga perlu dilakukan rehabilitasi dan penghijauan kembali di kawasan Pegunungan Kendang,” kata Gunretno.
Baca Juga: Hadapi Tantangan Masa Depan Sumber Migas, Ini yang Dilakukan Pemerintah
Ia menambahkan, warga meminta kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk duduk bersama membicarakan solusi atas peristiwa banjir ini. Termasuk melibatkan masyarakat dalam penyusunan Perda RTRW agar direvisi.
“Orang yang tahu lapangan akan memberikan masukan sebagaimana perda tata ruang itu,” imbuh Gunretno.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Memeng Melva Harahap mengungkapkan beragam persoalan menjadi penyebab bencana banjir terus-menerus di Kendeng. Mulai dari tata kelola tata ruang di Jawa Tengah yang buruk, negara memporak-porandakan dengan regulasi yang tidak punya prespektif lingkungan secara masif, negara juga tidak memperlihatkan peran-peran dari perempuan Kendeng. Akibatnya, pengelolaan sumber daya alam tidak punya perspektif lingkungan dan bencana.
Baca Juga: Inilah Keunikan Wisata Konservasi Alam yang Jadi Jujugan Wisatawan
“Padahal masyarakat Kendeng punya kearifan lokal untuk menjaga alam. Jadi harus melibatkan sedulur-sedulur Kendeng dalam aspek lingkungannya,” kata Memeng.
Ia mengingatkan, Pasal 33 UUD mengatur, bahwa kekayaan alam, bumi, air dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Seharusnya dengan mandat tersebut negara lebih berpihak kepada rakyat, bukan hanya kepada segelintir kepentingan yang merusak alam dan ruang kehidupan.
“Bukan sebaliknya dengan tata kelola lingkungan hidup yang gagal, kemudian banjir, longsor silahkan dinikmati oleh rakyat,” ucap Memeng.
Tahap pencegahan, rehabilitasi, dan rekonstruksi juga harus memperhatikan pemulihan lingkungan hidup yang rusak akibat pengrusakan kawasan Pegunungan Kendeng yang merupakan kawasan serapan air. [WLC02]
Discussion about this post