Wanaloka.com – Hingga hari ke-2 Konferensi Tingkat Tinggi Group Twenty (KTT G20) para elit negara di Bali terus menuai protes. Aliansi masyarakat sipil Gerak Rakyat menengarai perhelatan bertajuk “Recover Together, Recover Stronger” dengan dalih merencanakan masa depan dunia hanya untuk memperkuat transaksi demi memperkaya oligarki dari negara penyumbang tiga per empat emisi global. Mereka diduga membahas berbagai “solusi palsu” pencegahan krisis iklim.
Terbukti, pembicaraan nasib masa depan manusia dan lingkungan tersebut tidak melibatkan masyarakat. Sebaliknya, pemerintah justru membungkam partisipasi publik demi mengamankan citra pemerintah di mata internasional.
Sejumlah aktivitas masyarakat sipil yang diselenggarakan di Bali mendapatkan intimidasi dan pembubaran dari aparat negara. Juga dialami masyarakat yang menjadi korban langsung dari kerusakan lingkungan. Situasi di Bali pun dibuat mencekam dengan jumlah personel keamanan berlebihan.
Baca Juga: Gempa Bolsel Magnitudo 5,1 Dipicu Aktivitas Lempeng Sangihe
Beberapa aktivis yang bergabung dalam Gerak Rakyat yang meliputi 350 Indonesia, XR Indonesia, Satya Bumi, Yayasan Pikul, Public Virtue Research Institute, WALHI, Greenpeace Indonesia, Solidaritas Perempuan, Lembaga Peradaban Luhur, Aksi! For Gender, Social, and Ecological Justice, Trend Asia, dan Yayasan LBH Indonesia menyampaikan testimoni atas tindakan otoriter pemerintah terhadap masyarakat sipil menjelang dan selama KTT G20 berlangsung.
“Kami mencoba bertanya kepada masyarakat selama di Bali dalam diskusi bersama mahasiswa di Universitas Udayana. Kami membahas soal energi bersih dan demokrasi, ternyata ruang hidup rakyat semakin sempit. Pemerintah selalu menyebut pembangunan yang dilakukan untuk menyejahterakan rakyat. Nyatanya justru banyak warga dimiskinkan dan dimarginalkan dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Perampasan lahan disertai kriminalisasi dan pembungkaman terjadi. Alam dirusak oleh sumber energi yang tidak bersih,” ujar Pratiwi Febri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam konferensi pers, Rabu,16 November 2022.
Baca Juga: Sampah Plastik Kemasan Lima Produsen Besar Dominasi Perairan Sorong
Menurut Gerak Rakyat, pemerintah seharusnya tak perlu khawatir. Lebih baik membuka ruang demokrasi seluasnya bagi masyarakat sipil. Bukan membatasi Forum KTT G20 yang berlangsung di Bali hanya menjadi forum eksklusif dari oligarki dengan membajak ruang hidup masyarakat. Bahkan perlawanan masyarakat sipil atas gagasan elit dibungkam demi narasi tunggal milik pemerintah.
“Dua minggu terakhir, bahkan sebelumnya adalah periode represif. Greenpeace yang ingin berkampanye kreatif dengan kampanye bersepeda sepanjang pantura dan mengunjungi komunitas terdampak krisis iklim, seperti masyarakat terdampak kenaikan permukaan laut di Pekalongan, Demak, dan Semarang. Juga masyarakat yang mengalami pencemaran batu bara di Marunda, dan wilayah tragedi Lapindo. Namun, aksi kreatif dan damai itu dibenturkan dengan kekerasan lewat
organisasi massa yang dirancang untuk menghentikan kami di Probolinggo,” tutur Leonard Simanjuntak dari Greenpeace Indonesia.
Discussion about this post