Wanaloka.com – Anak gajah bernama Nurlaila yang biasa dipanggil Laila mati usai dirawat di Pusat Konservasi Gajah Sebanga, Kabupaten Bengkalis, Riau, Sabtu, 22 November 2025. Laila terlihat kurang aktif sejak, Kamis, 20 Nvember 2025. Tim medis pun dipanggil untuk memeriksa dan mendapati nafsu makan dan minumnya masih baik, suhu tubuhnya juga masih normal.
Namun Sabtu, 22 November 2025, terdengar jeritan Laila dini hari. Gajah kecil itu masih bangun dan bersuara pada pukul 05.00 WIB. Dalam 30 menit kemudian, ia ditemukan mati. Tim dokter hewan Balai Besar KSDA Riau pun melakukan nekropsi pada Laila.
Kasus kematian anak gajah yang berulang cukup menggelisahkan Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Prof. Raden Wisnu Nurcahyo. Semestinya ada kewaspadaan atau tindakan nyata untuk menyelamatkan gajah. Harus ada pertolongan pada gajah-gajah lain yang masih hidup.
“Kalau tidak diambil satu tindakan yang darurat, tentu ini akan terus berjalan dan berulang lagi,” ujar Wisnu, Rabu, 3 Desember 2025.
Baca juga: Sampah Nataru, Rest Area Wajib Mengelola dan Sanksi Bagi Kepala Daerah yang Abai
Wisnu menduga, penyebab kematian Laila akibat penyakit herpes yang disebabkan EEHV (Elephant endotheliotropic herpesvirus). Sebab termasuk dalam gajah dengan usia di bawah 10 tahun, sebagaimana Tari, anak gajah yang mati sebelumnya.
Tari dengn nama panjang Kalistha Lestari adalah anak gajah di Taman Nasional (TN) Tesso Nilo Riau, yang ditemukan mati pada 10 September 2025 dengan kondisi perut sedikit menggembung. Tidak ada gejala sakit maupun luka atau trauma dalam investigasi awal saat Tari ditemukan.
“Nah, biasanya kematian yang cepat seperti itu adalah virus. Beda dengan kematian yang kronis. Kalau yang akut ini cepat sekali,” jelas dia.
Dosen FKH UGM, Lintang Firdausy menambahkan infeksi EEHV merupakan infeksi fatal yang paling sering menjangkit anak gajah. Selain itu, terdapat parasit-parasit lain seperti endoparasit, ektoparasit, serta tuberkulosis yang disebabkan adanya interaksi intens dengan manusia.
“Baik parasit maupun infeksi virus EEHV sering menjangkiti gajah, khususnya pada infeksi EEHV yang dapat mematikan anak gajah selama 24 jam setelah pertama terjangkit,” jelas dia dalam kuliah umum yang diselenggarakan Kelompok Studi Satwa Liar (KSSL) di ruang Multimedia 1 Gedung V4 Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Senin, 3 November 2025.
Baca juga: Percepat Pencarian Korban Bencana dengan Integrasi Drone, AI dan Telepon Pintar
Peningkatan transisi penyakit dari hewan lain ke gajah maupun gajah ke manusia juga bisa disebabkan perubahan ekosistem akibat kegiatan pertambangan, juga illegal logging. Mengingat gajah memiliki peran penting menjaga ekosistem hutan.
Anak-anak gajah yang mati tentunya memengaruhi kondisi kelompok dan keberlanjutan populasi. Regenerasi akan menjadi suatu hal yang sulit. Kondisi itu juga didorong adanya gajah dewasa yang semakin lemah dan daya jelajah yang menurun sehingga lambat laun akan mati.
Wisnu menilai habitat gajah saat ini mulai memburuk karena banyak perubahan fungsi lahan, pembakaran, pembangunan, pertambangan, dan lain-lain. Membuat habitat mereka kian terfragmentasi, sehingga semakin menyempit. Kondisi ini mengakibatkan terjadi perkawinan antar saudara (inbreeding) sehingga hasil keturunannya kurang baik.
“Dengan gen-gen yang kurang baik itu, muncullah penyakit yang secara genetik juga lemah kondisinya,” papar dia.
Baca juga: Infeksi Pernafasan dan Penyakit Kulit Mengintai Pengungsi Bencana Hidrometeorologi
Wisnu juga memberi sebuah gambaran anak gajah dan induknya yang hidup di alam liar. Ketahanan fisik mereka lebih teruji. Sebab induk gajah mengajak anaknya lebih aktif bergerak dan mendapatkan asupan makanan yang membuat daya tahan tubuh lebih kuat.
Apabila sedang sakit, mereka memiliki insting untuk memakan dedaunan tertentu. Itulah yang dinamakan Self-medication Wildlife Behavior.
Berbeda dengan kasus induk gajah yang sakit dan melemah. Penjaga hutan merawatnya di pusat latihan gajah. Si induk gajah beserta anaknya harus makan dari makanan yang disuplai penjaga.






Discussion about this post