Wanaloka.com – Di tengah gelombang penolakan masyarakat sipil yang masih bergulir, DPR tetap mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi KUHP baru dalam Sidang Paripurna DPR pada 6 Desember 2022. Padahal produk hukum tersebut masih memuat pasal-pasal bermasalah. UU KUHP memuat pasal-pasal anti demokrasi dan menguntungkan bagi korporasi.
“Termasuk korporasi penjahat lingkungan. Jelas telah bertentangan dengan mandat konstitusi (UUD 1945),” tegas Kepala Divisi Kampanye Anti Industri Ekstraktif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Puspa Dewy dalam siaran pers Walhi tertanggal 6 Desember 2022.
Pasal tindak pindana korporasi yang dimuat pada Pasal 46, 47, dan 48 KUHP mempersulit pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan kejahatan. Lantaran kejahatan bergantung pada kesalahan pengurus. KUHP juga memberi keringanan sanksi bagi koruptor sehingga berpotensi melanggengkan korupsi di Indonesia.
Baca Juga: Sumber Gempa Dangkal Jember M6,2 di Luar Zona Subduksi
“Semua bisa kena, kecuali penjahat lingkungan,” kata Puspa.
Pengesahan RKUHP menunjukkan DPR sebagai wajah lembaga negara yang anti kritik. KUHP dinilai tidak mencerminkan kepentingan rakyat. Justru membawa Indonesia pada titik kritis, terutama titik pada penghancuran demokratisasi sumber daya alam, merampas wilayah kelola rakyat, dan lebih jauh dari cita-cita keadilan ekologis.
“Aturan-aturan di KUHP itu cenderung tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melakukan kejahatan,’’ jelas Puspa.
Baca Juga: Shelter Bambu Buatan ITB Tidak Panas Meski Beratap Terpal, Ini Rahasianya
Di sisi lain, pasal-pasal bermasalah tersebut juga meliputi pasal tentang living law, hukuman mati, penghinaan presiden, penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court), penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi.
Pasal-pasal tersebut berpotensi semakin mempersempit ruang demokrasi di Indonesia dan memperbanyak kriminalisasi rakyat. Saat ini, Walhi mencatat ada 53 kasus kriminalisasi pada 2021.
“Jumlah ini akan bertambah dengan kehadiran UU KUHP,” ungkap Puspa.
Baca Juga: Nana Sulaksana, Daerah Perlu Otonomi agar Cepat Sampaikan Peringatan Dini Erupsi Gunung Api
Atas pengesahan itu, Walhi menyatakan keprihatinan dan duka cita mendalam atas kemunduran demokrasi di Indonesia. Lantaran KUHP justru menjadikan Indonesia jauh dari pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana yang dicita-citakan konstitusi.
“KHUP menegaskan, bahwa pemerintah kembali melakukan pembangkangan atas konstitusi dan memperburuk demokrasi sumber daya alam di Indonesia,” tegas Puspa.
Jurnalis Terancam Dikriminalisasi
Jurnalis yang bergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menyatakan menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi KUHP karena memuat pasal-pasal bermasalah. Tercatat ada 17 pasal bermasalah yang ditemukan dalam draf RKUHP versi 30 November 2022.
Baca Juga: Presiden Jokowi Tegaskan Warga di Episenter Gempa Cianjur Prioritas Direlokasi
Pasal-pasal itu berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat, dan berekspresi.
Sikap menolak mereka sampaikan dalam aksi di berbagai daerah hingga 7 Desember 2022. Seperti di Jayapura, Manokwari, Lhokseumawe, Semarang, Padang, Bandar Lampung, Bandung, Medan, Jakarta, Samarinda, Kediri, Surabaya, Jambi, Makassar, Sukabumi, Banda Aceh, Manado, dan Yogyakarta.
Berikut 17 pasal bermasalah tersebut:
Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Discussion about this post