Wanaloka.com – Tragedi longsor di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Leuwigajah pada 21 Februari 2005 yang diabadikan menjadi Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) hampir berusia dua dekade. Berbagai peringatan dan seremoni HPSN setiap tahun belum mampu menjawab berbagai persoalan pengelolaan sampah di tingkat nasional dan daerah hingga hari ini. Mulai dari rendahnya tanggung jawab produsen, peningkatan timbulan sampah, minimnya anggaran, hingga solusi semu pengelolaan sampah.
“Upaya mewujudkan “Nol Sampah, Nol Emisi” (Zero Waste, Zero Emission) menghadapi berbagai tantangan serius,” kata Pengkampanye Urban Berkeadilan Eksekutif Nasional Walhi, Abdul Ghofar melalui siaran pers Walhi Nasional tertanggal 21 Februari 2023.
Apa Saja Tantangan Serius Mewujudkan “Nol Sampah, Nol Emisi”?
Pertama, berdasarkan laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) 2021, sektor limbah menyumbang emisi gas rumah kaca nasional sebesar 12 persen atau setara 126.797 Gg CO2e. Emisi tersebut lebih tinggi dari kontribusi emisi nasional sebelumnya sebesar tujuh persen atau setara 120.333 Gg CO2e. Kontribusi emisi sektor limbah berasal dari subsektor limbah padat domestik, limbah cair domestik, dan limbah industri.
Baca Juga: Korban Tewas Gempa Turki 42 Ribu, Indonesia Kirim 140 Ton Logistik
“Dalam laporan IGRK, limbah domestik yang tak terkelola, limbah cair, dan pembakaran sampah menjadi sub sektor penyumbang emisi terbesar,” kata Ghofar.
Kedua, timbulan sampah setiap tahun mengalami peningkatan cukup signifikan. Pada 2021, timbulan sampah mencapai 68,5 juta ton dan pada 2022 menjadi 70 juta ton atau naik 1,5 juta ton. Peningkatan volume sampah meningkatkan kerentanan kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang kelebihan kapasitas.
Sementara 35,46 persen TPA di seluruh Indonesia masih menggunakan penimbunan terbuka (open dumping). Sedangkan kondisi sebagian TPA eksisting lain juga memprihatinkan.
Baca Juga: Aneka Inovasi Limbah Mahasiswa KKN Unair dari Kulit Jeruk hingga Popok Bayi
“Jadi visi untuk tidak ada TPA baru setelah 2030 terlihat kurang realistis dengan kondisi eksisting,” ungkap Ghofar.
Ketiga, ketiadaan anggaran memadai dan komitmen politik dari pemerintah daerah, serta minim dukungan pemerintah pusat cukup menghambat upaya peningkatan standar TPA Sanitary Landfill. Anggaran pengelolaan sampah daerah dengan rerata 0,5 persen dari total APBD harus ditingkatkan setidaknya satu persen. Dan dialokasikan secara proporsional untuk penanganan dan pengurangan sampah.
Keempat, visi “Zero Waste, Zero Emission” sulit direalisasikan apabila peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah berbasis rumah tangga tak dibarengi peran serta korporasi dan pemerintah. Korporasi yang seharusnya dibebankan perluasan tanggung jawab produsen atas pencemaran lingkungan menjadi pihak yang selalu menghindari kewajiban.
Baca Juga: Sumber Gempa Dangkal yang Guncang Maluku dan Bengkulu
Bahkan regulasi seperti Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen diabaikan sebagian besar produsen.
Discussion about this post