Wanaloka.com – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) memastikan Pemerintah Indonesia tidak melakukan penyusunan Second Nationally Determined Contribution (S-NDC), yakni dokumen komitmen iklim terbaru Indonesia yang memperbarui komitmen iklim sebelumnya, yaitu Enhanced NDC, dengan memperhatikan prinsip partisipasi bermakna. Sebaliknya, proses penyusunan draf S-NDC tidak dimulai dengan melibatkan semua unsur masyarakat secara menyeluruh. Bahkan dokumen dibuka dan disosialisasikan ke publik secara terbatas dalam rentang waktu relatif singkat, kurang dari satu bulan pembukaan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim.
Secara substansi, draf S-NDC tidak mencerminkan tuntutan keadilan iklim, terdapat kontradiksi target penurunan emisi dengan langkah yang direncanakan. Pendekatan teknokratis dan ambisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen dengan strategi menggenjot investasi dan konsumsi akan menjauhkan Indonesia dari komitmen iklimnya.
Walhi menegaskan tidak akan ada perencanaan aksi iklim yang adil tanpa keterbukaan informasi dan partisipasi penuh rakyat.
Baca juga: Hutan Ulu Masen di Aceh Jadi Lokasi Riset Aksi Atasi Konflik Gajah dan Manusia
“Target iklim dalam S-NDC ini masih semu. Kami masih dihadapkan pada kenyataan emisi skala besar akan terus dihasilkan dari kebijakan serta program nasional yang bertumpu pada model ekonomi pertumbuhan yang ekstraktif,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jerry Even Sembiring.
Catatan kritis soal S-NDC
Ada tujuh catatan kritis Walhi atas subtansi S-NDC. Pertama, S-NDC Indonesia masih bertumpu pada energi fosil. Ditunjukkan dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025-2034 yang menargetkan tambahan 16,6 GW berbasis fosil, di mana 10,3 GW di antaranya berasal dari pembangkit listrik berbasis gas.
Ketergantungan pada gas berisiko menambah emisi dan beban fiskal negara, sementara roadmap penutupan PLTU tua belum tersedia. Bahkan beberapa PLTU tetap dipertahankan dengan rencana bauran sumber energi dari biomassa. Penurunan bertahap PLTU batu bara (coal phase-down) mulai 2030, bukan penghapusan bertahap PLTU batu bara (coal phase-out) jelas bukan solusi strategis untuk mendorong penurunan emisi secara maksimal dalam konteks kebijakan transisi energi berkeadilan.
Baca juga: Varian Virus Influenza Berbeda, Respons Kekebalan Tubuh Berpotensi Lambat
Selain itu, S-NDC Indonesia masih memuat substitusi energi sebagai model transisi energi, seperti bioenergi, hidrogen hijau, geothermal. Banyak fakta di lapangan bahwa model transisi energi seperti ini justru mendorong perluasan kebun kayu energi, perampasan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat, deforestasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Di Merauke contohnya, pemerintah menargetkan membuka 1 juta hektar hutan untuk membangun kebun tebu demi mengejar target bauran 10% etanol sebagai bahan bakar kendaraan.
Kedua, SNDC juga memuat target percepatan elektrifikasi transportasi dengan target 2 juta kendaraan listrik roda empat dan 13 juta roda dua pada 2030. Target ini tentunya akan mempercepat eksploitasi dan memperluas ekspansi izin tambang nikel di wilayah Sulawesi, Maluku, Raja Ampat, dan pulau-pulau kecil lainnya, termasuk mendorong laju deforestasi semakin kencang.
Walhi mencatat, pada 2022, luas konsesi tambang nikel mencapai 1 juta hektare, dengan 765 ribu hektare berada di dalam atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Target ini juga semakin membuat Indonesia bergantung pada pembangkit listrik fosil seperti PLTU batu bara, karena hampir sebagian besar smelter nikel memakai PLTU batu bara sebagai sumber listrik.
Baca juga: Mitigasi Kebakaran Lahan Gambut Lewat Pendekatan Ekohidrologi
Ketiga, target swasembada pangan dan energi yang menjadi prioritas rezim Prabowo-Gibran akan semakin memperbesar deforestasi. Program 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi adalah salah satu bentuk kontradiksi antara kebijakan nasional dan komitmen iklim yang tertuang dalam S-NDC.
Jika hutan alam dibuka seluas 4,5 juta hektare akan melepaskan sebesar 2,59 miliar ton emisi karbon, maka dapat diakumulasi berapa besaran emisi yang akan dilepaskan dari 20 juta hektare hutan yang akan dibuka (Walhi 2025).
Keempat, pendekatan adaptasi berbasis ekosistem dan komunitas sebagaimana yang disebutkan dalam dokumen SNDC tidak tercermin dalam apa yang dikerjakan pemerintah satu tahun ini. Dikhawatirkan pendekatan adaptasi berbasis ekosistem dan komunitas ini hanya sekedar komitmen di atas kertas.
Baca juga: Walhi Yogyakarta Desak DIY Tolak Proyek PSEL yang Meningkatkan Degradasi Lingkungan di Piyungan
 
			





 
                                    
Discussion about this post