Wanaloka.com – Pada 1997, Marzuki, nelayan tangkap di Tambakrejo, Kota Semarang telah merasakan kenaikan air laut walaupun belum tahu persis penyebabnya. Saat itu, wilayah pesisir utara semakin terkikis. Ia dan banyak nelayan budidaya juga merasakan tambaknya terus menghilang. Dan saat ini, wilayah tersebut benar-benar telah hilang.
Tak hanya itu. Awal tahun 2000-an, Marzuki dan nelayan lainnya dapat menangkap ikan ke tengah laut. Kini mereka kian kesulitan menangkap ikan. Situasi semakin rumit dengan pemasangan pipa-pipa industri di tengah wilayah tangkap nelayan sehingga mengganggu aktivitas nelayan.
“Kami sudah hampir kehabisan akal,” keluh Marzuki.
Baca Juga: Gempa Dangkal 6,4 Magnitudo Guncang Wakatobi, BNPB Sebut Situasi Normal
Kesulitan hidup nelayan di Tambakrejo semakin bertambah dengan adanya penggusuran pada tahun 2019 lalu. Sampai sekarang, lebih dari 97 keluarga nelayan di kampungnya tak mendapatkan kepastian tempat tinggal dari pemerintah. Ia pun mulai merasa ada yang salah dalam pembangunan dan pengaturan wilayahnya.
“Ketika bicara soal pembangunan, termasuk dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang), sebenarnya pembangunan ini dari dan untuk siapa?” tanya Marzuki.
Kesulitan menangkap ikan juga dialami Asmania, perempuan nelayan dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu DKI Jakarta bersama nelayan-nelayan di sana. Sepuluh tahun lalu, mereka dapat menangkap ikan minimal satu kuintal. Kini, untuk mendapatkan 10 kilogram saja sulit.
Baca Juga: Aktivitas Lempeng Laut Maluku Picu Gempa 6,4 Magnitudo di Kepulauan Talaud
“Sebagai perempuan, kami tetap berusaha menyediakan makan untuk keluarga kami,” kata Asmania.
Proyek reklamasi di Pulau Tengah untuk proyek pariwisata telah menghancurkan kawasan tangkapan dan kawasan budidaya rumput laut nelayan di Pulau Pari. Masyarakat di sana juga harus berhadapan dengan ancaman perampasan tanah yang dilakukan perusahaan pariwisata dan memenjarakan banyak nelayan.
“Perempuan nelayan bergerak untuk melawan dan menyelamatkan masyarakat Pulau Pari,” tegas Asmania.
Baca Juga: Masa Lebaran, Menteri Siti Nurbaya Prediksi Lonjakan Sampah 49 Ton Lebih
Pulau Pari yang luasnya hanya 42 hektare juga terancam tenggelam. Bahkan 11 persen pulau tersebut telah terendam air laut. Ia mengkhawatirkan masa depan anak-anak dan seluruh generasi muda yang hidup di sana. Bersama tiga orang nelayan, Asmania tengah mengajukan gugatan iklim melawan Holcim, perusahaan semen terbesar di dunia yang bermarkas di Swiss. Sebab Holcim memproduksi emisi karbon dalam jumlah sangat besar yang berakibat pada segudang permasalahan yang kini dihadapi masyarakat Pulau Pari.
Ia menyayangkan tak ada keberpihakan pemerintah untuk menyelamatkan Pulau Pari dari ancaman perampasan tanah sekaligus dampak krisis iklim, meskipun ia dan masyarakat di sana telah berusaha menyelamatkan pulau itu.
“Kami mendesak pemerintah untuk mendesain pembangunan yang akan menyelamatkan kehidupan kami dan seluruh pulau, terlebih pulau kecil di Indonesia,” ucap Asmania.
Baca Juga: Aktivitas Lempeng Indo Australia Kembali Picu Gempa di Provinsi Bengkulu
Sementara berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Semarang adalah salah satu kota yang akan tenggelam. Walhi Jawa Tengah melihat banyak kebijakan yang bertolak belakang dengan karakter geografis wilayah. Wilayah pesisir yang seharusnya difungsikan untuk memiliki daya dukung dan daya tampung yang memadai malah dijadikan proyek untuk kepentingan privat adalah merupakan contoh nyata. Belum lagi, kerentanan bencana juga jarang dibicarakan.
“Bahkan terkesan ‘kalah’ oleh wacana besar berjudul Pertumbuhan Ekonomi,” kata Direktur Walhi Jawa Tengah, Fahmi Bastian.
Fahmi menjelaskan pesisir Jawa Tengah, baik di utara dan selatan telah dibebani izin industri skala besar yang telah merusak kelestarian pesisir dan laut. Pada tahun 2020 tercatat sebanyak 109 desa pesisir yang terdampak banjir rob. Luasan mangrove juga mengalami penurunan sangat drastis. Tahun 2010, mangrove tercatat seluas 1.784.850 hektare, tetapi menyusut menjadi 10.738,62 hektare pada 2021.
Baca Juga: Konservasi Orangutan Kalimantan, Pulih dari Luka Jerat Kembali ke Alam Liar
Jumlah nelayan di Jawa Tengah pun mengalami penurunan sangat signifikan. Pada tahun 2010 tercatat ada 103.839 orang nelayan. Kemudian menurun menjadi 70.494 orang pada 2019.
Berbagai data di atas menggambarkan dampak pembangunan telah mempercepat kerusakan lingkungan di pesisir Jawa Tengah dan menurunkan jumlah nelayan sebagai aktor penting perikanan.
Discussion about this post