Penularan penyakit flu burung pada manusia dapat melalui kontak langsung dengan unggas atau binatang lain yang sakit atau produk unggas yang sakit karena infeksi H5N. Penularan di lingkungan, pasar, kandang unggas, halaman, kebun atau peralatan yang tercemar virus tersebut, baik yang berasal dari tinja unggas yang terserang flu burung (H5N1).
Penularan juga dapat melalui makanan, seprti saat mengolah produk unggas, mengonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi H5N1.
Umumnya, gejala klinis flu burung (H5N1) pada manusia mirip dengan flu biasa. Yang sering ditemukan adalah demam lebih dari 38 derajat Celcius, batuk, dan nyeri tenggorok.
Baca Juga: Jaga Stok Pangan, Jokowi Instruksikan Sedot Air Tanah dan Sungai Lewat Pompanisasi
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah pilek, sakit kepala, nyeri otot, infeksi selaput mata, diare atau gangguan saluran cerna. Gejala sesak napas menandai kelainan saluran napas bawah yang dapat memburuk dengan cepat.
“Segera ke fasilitas pelayanan kesehatan apabila mengalami gejala sakit suspek flu burung dan ada riwayat kontak dengan faktor risiko,” sambung Farchanny.
Situasi Flu Burung di Indonesia dan Global
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes dokter Imran Pambudi mengungkapkan, kasus flu burung di Indonesia pertama kali dilaporkan pada 2005.
Sejak saat itu hingga tahun 2017, tercatat sebanyak 200 kasus dengan 168 kematian, sehingga angka kematian (Case Fatality Rate/CFR) sebesar 84 persen. Kasus-kasus tersebut tersebar di 15 provinsi dan 59 kabupaten/kota.
“Indonesia melaporkan kasus flu burung terakhir pada 2017 (satu kasus, satu meninggal) di Kabupaten Klungkung, Bali. Hingga kasus terakhir, penularan masih terjadi dari unggas ke manusia,” ungkap Imran.
Di tingkat global, WHO mengkonfirmasi sejumlah laporan kasus flu burung pada manusia. Berikut ini data kumulatif kasus flu burung H5N1 pada manusia di 23 negara yang tercatat oleh WHO sepanjang tahun 2003-2024. Tahun 2003-2009: 468 kasus, 282 kematian; 2010-2014: 233 kasus, 125 kematian; 2015-2019: 160 kasus, 48 kematian; 2020: 1 kasus; 2021: 2 kasus, 1 kematian; 2022: 6 kasus, 1 kematian; 2023: 12 kasus, 4 kematian; 2024: 7 kasus, 2 kematian.
Baca Juga: Rehabilitasi Mangrove dengan Alat Penahan Ombak dari Limbah Plastik
Berdasarkan laporan terbaru WHO, terdapat tambahan kasus flu burung pada manusia, yaitu: 19 April 2024: Avian Influenza H9N2 di Vietnam; 18 Mei 2024: Avian Influenza H5N1 di Australia; 22 Mei 2024: Avian Influenza H9N2 di India; 23 Mei 2024: Avian Influenza H5N2 di Meksiko.
Jumlah total dari tahun 2003 hingga Mei 2024, terdapat 893 kasus flu burung dengan 464 kematian yang tercatat di WHO, dengan rincian: H5N1: 890 kasus, 463 kematian; H9N2: 2 kasus; H5N2: 1 kasus, 1 kematian.
Pada rentang Januari-Juni 2024, ASEAN BioDiaspora Virtual Center juga mencatat kasus flu burung pada manusia di wilayah ASEAN. Secara khusus di wilayah ASEAN, laporan kasus flu burung, yaitu: 6 April 2024: Avian Influenza H9N2 di Vietnam; 22 Maret 2024: Avian Influenza H5N1 di Vietnam; 21 Februari 2024: Avian Influenza H5N1 di Kamboja; 29 Januari 2024: Avian Influenza H5N1 di Kamboja.
Baca Juga: Proyek Tambak Lorok Semarang Diklaim Bisa Kendalikan Banjir Rob 30 Tahun
Tak Perlu Panik Virus Luar
Sementara mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari melalui akun YouTube-nya Siti Fadilah Supari Channel dalam tema pembahasan “P4ND3M1C IS COMING” yang diunggah pada 9 Juni 2024 menyebutkan, bahwa virus flu burung belum ada yang terbukti bisa menular dari hewan ke manusia. Apabila ada penularan, berarti virus tersebut telah bermutasi. Sementara mutasi virus butuh waktu lama, setidaknya 50 tahun.
“Tahun 2008, virus flu burung (H5N1) di Indonesia tidak menular dari hewan ke manusia. Dan itu baru 16 tahun (2008-2024),” kata Siti Fadilah.
Namun sebagai langkah antisipasi, apabila saat ini ada kasus flu burung di Indonesia, dia pun meminta pakar virologi memastikan apalah dalam sekuensing virologinya benar-benar ada reseptor antarhewan dan menular ke manusia.
Baca Juga: Bambang Hendroyono, Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Harus Melindungi Hak Masyarakat Lokal
“Sekuensingnya harus yakin betul. Kalau yakin, pastikan itu strain apa?” kata Siti.
Jika strain sudah ditemukan, maka pemerintah melalui pakar-pakarnya bisa membuat vaksin dan antibody dari strain kasus di Indonesia.
“Jadi nggak perlu panik dengan virus-virus dari luar Indonesia,” tegas Siti. [WLC02]
Sumber: Kemenkes, YouTube Siti Fadilah Supari Channel
Discussion about this post