Wanaloka.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak keras pengesahan revisi UU Minerba yang dinilai akan memuluskan agenda perampasan tanah rakyat, pengrusakan lingkungan, dan kooptasi institusi perguruan tinggi. Menyikapi revisi ini, YLBHI menyampaikan beberapa catatan masalah di balik pengesahan UU Minerba tersebut sebagai berikut:
Pertama, Pembahasannya ugal-ugalan.
Pengesahan revisi UU Minerba dilakukan secara tergesa-gesa dan tanpa partisipasi publik yang memadai. Proses pembahasannya tidak transparan dan minim kajian mendalam terkait dampak sosial, lingkungan, dan akademik. Kondisi ini mencerminkan watak pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada kepentingan rakyat.
Kedua, Penundukkan kampus dan pengekangan kebebasan akademik (Pasal 75A)
Baca juga: Catatan Rumphius, Gempa Bumi Pernah Meruntuhkan Bukit dan Membelah Tanah di Ambon
Revisi UU Minerba memperlihatkan bagaimana kampus diarahkan untuk menjadi klien dalam mekanisme penerima manfaat dari perusahaan tambang. Adanya celah hukum yang memungkinkan kampus terlibat dalam bisnis pertambangan, dunia pendidikan semakin dikomersialisasi.
Kampus bukan lagi tempat mencari ilmu demi kepentingan rakyat untuk secara aktif menjawab masalah-masalah sosial, melainkan menjadi mesin produksi tenaga kerja yang melayani kepentingan pasar, khususnya industri tambang. Dunia pendidikan akan didorong untuk semakin berkontribusi pada optimalisasi profit bisnis tambang.
Ini memperparah kecenderungan pendidikan tinggi yang sudah lama terjebak dalam logika bisnis dan komersial. Penundukan kampus bukan hanya membungkam sikap kritis akademisi, tetapi juga membuat kampus semakin tunduk pada mekanisme pasar. Akibatnya, biaya pendidikan menjadi semakin tidak menentu, bergantung pada fluktuasi produksi dan penjualan hasil tambang. Ini memperburuk aksesibilitas pendidikan tinggi bagi masyarakat yang kurang mampu.
Baca juga: Ini Perubahan Pasal-pasal dalam UU Minerba yang Disahkan DPR
Ketiga, Meningkatkan risiko kekerasan dan pelanggaran HAM, serta konflik horizontal (Pasal 75)
Industri pertambangan selama ini telah mengakibatkan pelanggaran HAM, mulai dari perampasan lahan masyarakat, kriminalisasi aktivis lingkungan, hingga konflik sosial. Dengan keterlibatan kampus dalam bisnis tambang, mahasiswa dan akademisi yang menentang kebijakan ini berisiko menjadi sasaran represi.
Kekerasan terhadap masyarakat terdampak tambang juga akan semakin meningkat seiring dengan perluasan eksploitasi sumber daya alam. Revisi UU Minerba ini tetap mempertahankan ormas keagamaan sebagai subjek yang bisa mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Baca juga: Target NZE 2060, MPR Akui Penggunaan Energi Fosil Masih Dominan di Indonesia
Situasi di lapangan, konflik yang muncul dalam gerakan penolak tambang sering terjadi antara negara-perusahaan vs warga. Pemberian IUPK akan memperluas subjek yang dapat berkonflik dengan warga, yaitu anggota-anggota ormas keagamaan.
Keempat, Revisi mempertahankan kriminalisasi.
Revisi UU Minerba seharusnya mengubah pasal-pasal bermasalah dalam UU sebelumnya. Kenyataannya, UU Minerba yang baru disahkan masih mempertahankan ketentuan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya serta sistem perizinan yang ditarik ke pusat, sehingga justru menjauhkan akses layanan publik dari masyarakat terdampak. Kondisi ini semakin mempersempit ruang gerak masyarakat dalam mengawasi eksploitasi sumber daya alam yang merugikan mereka.
Baca juga: Walhi: MoU Kemenhut dengan TNI-Polri Berpotensi Memperburuk Penyelesaian Konflik Kawasan Hutan
Kelima, Memudahkan perampasan tanah (Pasal 17A)
Di dalam revisi ini, DPR memasukkan pasal baru mengenai pertimbangan tata ruang. Pasal 17A menyebutkan: Dalam hal belum terdapat penetapan tata ruang dan/atau kawasan, penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dan WIUP batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 menjadi dasar bagi penetapan pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan.
Pasal ini akan mengacak-acak prinsip penataan ruang harus sesuai dengan kepentingan umum. Akibatnya, penataan ruang suatu wilayah/daerah dapat disesuaikan dengan titik-titik tambang, tidak peduli apakah titik itu berada di area pemukiman atau lahan warga. Ke depan, perampasan tanah petani dan masyarakat pedesaan dapat dengan mudah dilakukan atas dasar “area ini tidak cocok untuk pemukiman atau kegiatan bertani karena terdapat kandungan batubara di bawahnya”.
Baca juga: Purnama Hidayat, Tak Semua Serangga Layak Konsumsi Mudah Didapat di Daerah
Klaim manfaat bagi kampus
Discussion about this post