Agus mengakui teknologi memanen air hujan sudah berkembang secara tradisional dan modern di banyak negara seperti di Bangladesh, Australia, dan Jerman juga di berbagai wilayah di Indonesia. Teknologi tradisional tersebut umumnya masih menampung hujan secara langsung tanpa penyaring dan belum terkait dengan injeksi air tanah.
“Saya mengompilasi dan mengembangkan 12 metode memanen air hujan lengkap dengan contoh masalah dan hitungan dimensinya. Antara lain dengan bak tampung air hujan, sumur resapan, parit resapan, areal resapan, tanggul pekarangan, pagar pekarangan, lubang galian, modifikasi lanskap, area konservasi air tanah, kolam tampungan, revitalisasi telaga, dan tanaman dan hutan sebagai pemanen air hujan,” papar dia.
Dari 12 teknologi tersebut, ia memutuskan mengembangkan teknologi penyaring dan penampung air hujan Gama Rain Filter. Alat ini menyempurnakan teknologi tradisional bak tampung air hujan dari atap rumah dengan tambahan filter penyaring daun, debu kasar, dan debu halus.
Baca Juga: Ada 4 pilar capaian kinerja Badan Geologi pada 2023. Apa sajakah itu?
Alat ini memiliki penampungan yang portable, dapat mengalirkan kelebihan airnya secara otomatis ke sumur atau sumur resapan, dan mendistribusikan air hujan untuk kebutuhan air bersih. Dengan teknologi ini, hampir 100 persen air hujan dari atap rumah bisa dimanfaatkan.
“Gama Rain Filter adalah teknologi tepat guna yang telah mendapatkan penghargaan Layak Paten terbaik UGM 2016 dan Paten UGM terbaik 2020. Bahan penyusunnya tersedia 100 persen di pasaran dan dapat dibuat 10 masyarakat dengan pelatihan secukupnya. Kedua penghargaan ini dapat diraih karena teknologi ini dapat diterima masyarakat dengan persebaran yang begitu cepat,” terang Agus.
Guna lebih meyakinkan apakah masyarakat dapat menerima teknologi ini, ia bersama tim melakukan penelitian tingkat penerimaan pengguna (user acceptance) dengan 58 responden dari para pengguna alat Gama Rain Filter yang sudah memakai alat tersebut selama setahun di D.I. Yogyakarta. Hasilnya memperlihatkan sebanyak 76,3 persen pengguna paham terkait kegunaan alat setelah pemasangan; 81,3 persen menilai kualitas air hujan yang tertampung cukup bagus; 91,5 persen menyatakan puas menggunakan air hujan; dan 94,9 persen menyatakan alat ini sangat bermanfaat.
Baca Juga: Bayu Dwi, Smart Farming Ajak Anak Muda Betah Mengolah Pertanian
“Hasil ini tentu menunjukan tingkat penerimaan masyarakat sangat tinggi dan memberikan motivasi kepada saya dan tim untuk terus mengembangkan dan mengkampanyekan memanen air hujan dengan lebih luas lagi,” ucap dia.
Dengan pidato ilmiah yang mengangkat judul “Pengembangan IPTEK Memanen Air Hujan: dari Keprihatinan, Penelitian, dan Pengembangan Teknologi menuju Gerakan Masyarakat dan Teaching Factory”, ia berharap dapat memberikan kontribusi secara ontologis dan epistemologis dalam mendorong terjadinya dampak aksiologis yang nyata dalam tataran praktis menuju pengelolaan sumber daya air hujan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Upaya dan pengembangan IPTEK memanen air hujan yang telah diuraikan, ia sangat berharap dapat membuka kesadaran masyarakat dan pemerintah, bahwa air hujan sangat layak untuk dikelola, dipanen dan dimanfaatkan sebagai sumber air bersih yang akan menyelamatkan bangsa di Indonesia dari ancaman krisis air ke depan. [WLC-02]
Sumber: UGM
Discussion about this post