Wanaloka.com – Bulan September selalu dinanti para petani, sebagai tanda berakhirnya musim kemarau. Perpaduan karunia alam dan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 untuk melaksanakan Reforma Agraria diabadikan Presiden Soekarno dalam konsiderans Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963 tentang Hari Tani.
“Bahwa setiap akhir bulan September, matahari melintasi garis khatulistiwa ke arah selatan. Musim labuh (turun ke sawah) hampir tiba. Rakyat tani perlu bergembira dan bersyukur kepada Tuhan karena akan menerima rahmat-Nya yang berupa hujan. Perlu pula digerakkan agar daya kerja dan daya cipta mereka berkembang untuk mencapai produksi yang berlimpah-limpah, sebagai syarat mutlak mencapai masyarakat adil dan Makmur”, demikian bunyinya.
Sayangnya, agenda konstitusi yang bertujuan untuk menciptakan tatanan agraria yang adil dan mensejahterakan petani melalui reforma agraria tidak dijalankan. Bahkan penghisapan dan penindasan terhadap petani oleh pemodal, termasuk pemerintah sendiri terus dilestarikan. Akibatnya, mayoritas petani tidak memiliki tanah, pengetahuan, sarana produksi, teknologi, infrastruktur yang memadai dan pasar yang melindungi mereka.
Baca Juga: Jalur Ikan Mencegah Gangguan Rute Migrasi Ikan di PLTA Poso
“Inilah sumber utama masalah yang menyebabkan Indonesia sulit terbebas dari kemiskinan dan krisis sistemik lainnya,” kata Koordinator Umum Aksi Hari Tani Nasional (HTN), Dewi Kartika dalam siaran tertulis, Selasa, 24 September 2024.
Selain tidak menjalankan konstitusi agraria, pemerintahan Joko Widodo juga dinilai telah menghancurkan sendi-sendi demokrasi dan reformasi seperti ancaman terhadap kebebasan petani berserikat, kriminalisasi terhadap rakyat, membangun politik dinasti, dan menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan belaka.
“Pemerintahan ini telah mengkhianati reformasi yang susah payah dibangun oleh darah dan keringat rakyat pada tahun 1998,” imbuh Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini.
Baca Juga: Akses Pupuk Kimia Sulit, Petani Maratua Membuat Pupuk Organik
Agenda pelemahan demokrasi yang dijalankan pemerintahan ini diduga bertujuan untuk mempermudah kroni kekuasaan yang berkolaborasi dengan pengusaha untuk terus menerus merampas tanah-tanah petani di berbagai tempat. Mereka berkolaborasi untuk merampas kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengancam hak hidup nelayan; merampas hutan dan wilayah masyarakat adat; menjalankan sistem patriarki yang menindas kaum perempuan; dan menerapkan upah murah bagi kaum buruh.
Pada Hari Tani Nasional 2024 ini, Gerakan Rakyat Lawan Perampasan (Geram) Tanah yang terdiri dari elemen petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, mahasiswa dan kaum miskin perkotaan menuntut agar Reforma Agraria Sejati sesegera mungkin dijalankan sebagaimana diamanatkan Konstitusi dan UUPA 1960.
“Kami juga sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa sepanjang satu dekade ini telah terjadi kejahatan sistematis terhadap Konstitusi Agraria. Kejahatan ini telah membuat bangsa kita semakin tenggelam dalam darurat agraria dan darurat demokrasi,” papar Dewi.
Baca Juga: Djati Mardiatno, Masyarakat Bisa Lakukan Mitigasi Kekeringan Mandiri
Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah mencatat setidakaya ada 18 bentuk kejahatan terhadap Konstitusi Agraria di Indonesia.
Pertama, Pemerintahan Jokowi telah menyesatkan dan membohongi publik dengan menyatakan menjalankan Reforma Agraria seluas 9 juta hektare. Padahal pemerintahan ini hanya menjalankan sertifikasi tanah tanpa menjalankan redistribusi tanah kepada rakyat dan menuntaskan konflik-konflik agraria.
Sekedar pensertifikatan tanah bukanlah reforma agraria. Sertifikasi hanyalah layanan kepada orang yang sudah bertanah, bukan layanan kepada rakyat yang tidak bertanah, bukan layanan kepada rakyat yang tanahnya terancam perampasan tanah, bukan layanan kepada rakyat yang mengalami konflik agraria dan perampasan tanah, bukan pula melakukan koreksi terhadap ketimpangan penguasaan tanah.
Baca Juga: Kadar Glukosa Penderita Diabetes Turun Usai Konsumsi Kratom
Bahkan sertifikasi adalah liberalisasi pasar tanah di Indonesia, sebagai upaya menjebak rakyat ke dalam pasar tanah bebas yang memudahkan tanah-tanah masyarakat dijual dengan murah atas nama kepentingan investasi dan proyek strategis nasional (PSN).
Kedua, pemerintah dinilai telah melanggar UUPA dan melawan Putusan MK No. 21-22/PUU-V/2007 yang melarang pemberian HGU selama 90 tahun dan HGB selama 80 tahun.
Bukannya menjalankan mandat UUPA dan Putusan MK tersebut, pemerintah justru melipatgandakan pemberian hak atas tanah kepada pengusaha menjadi 190 tahun untuk HGU dan 160 tahun untuk HGB di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Baca Juga: Irwan Meilano, Gempa Bumi Tak Hanya dari Zona Megathrust di Pantai Selatan
Artinya para pemodal dan konglomerat telah difasilitasi Presiden untuk menguasai dan mengontrol wajah Ibu Kota Republik Indonesia selama dua abad lamanya. Dua abad obral hak atas tanah ini penting untuk dilawan tidak hanya di IKN, tapi agar tidak dilaksanakan secara nasional. Inilah kejahatan pemerintah yang menjadikan IKN tidak hanya berbau kolonial tapi menjadi ibu kota dengan aturan lebih kejam dari kolonial. Sebab pada masa kolonial, hak erfpacht (sewa tanah perkebunan) kepada pengusaha diberikan selama 75 tahun oleh Hindia Belanda, artinya UU IKN justru lebih parah dari UU Agraria Kolonial.
Ketiga, pemerintahan menjadikan proyek pembangunan yang kental dengan kepentingan bisnis swasta termasuk swasta asing sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti proyek energi, infrastruktur, pangan (proyek food estate), pabrik, kawasan niaga dan real estate milik korporasi.
Dengan memberi label PSN, Presiden melahirkan keputusan yang mengakibatkan terjadinya perampasan tanah, penggusuran dan kriminalisasi rakyat. Akibatnya, per Juli 2024, perampasan tanah rakyat demi PSN di 134 lokasi telah mencapai 571 ribu hektar, dan 1,86 juta hektar di 11 provinsi demi proyek food estate (KPA, 2024).
Baca Juga: Kamajaya Bantu Petani Pastikan Awal Musim Tanam Lebih Akurat
Keempat, pemerintah membiarkan kejahatan penelantaran tanah yang dilakukan oleh perusahaan meskipun hal tersebut jelas-jelas melanggar UUPA. Berdasarkan Catatan KPA selama 2015-2023, Presiden Joko Widodo melalui Menteri ATR/BPN RI hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas HGU dan HGB seluas 77 ribu hektar dari 7,24 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar (ATR/BPN, 2023).
Kelima, pemerintah tidak melakukan upaya untuk mengoreksi monopoli tanah oleh swasta sesuai amanat UUD dan UUPA. Sehingga saat ini lebih dari 25 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar pengusaha tambang dan 11,3 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha kayu, di dalamnya praktik mafia sawit, mafia tambang dan mafia kayu semakin subur (Sawit Watch, ESDM dan LHK, 2024).
Bahkan dengan dalih mempermudah investasi, pemerintahan Jokowi memberi pemutihan atas kejahatan lingkungan dan kehutanan, pengampunan kejahatan pajak, yang semakin merugikan rakyat. Berbanding terbalik dengan jumlah penguasaan tanah oleh pengusaha yang semakin luas, petani Indonesia semakin gurem dengan penguasaan tanah rata-rata 0,1 – 0,3 hektar. Tercatat dalam 10 tahun terakhir, jumlah petani gurem ini bertambah 2,62 juta (BPS, 2023).
Baca Juga: Fahmy Radhi, Hentikan Ekspor Pasir Laut Sebab Sama Saja Menjual Negara
Keenam, pemerintah bersama parpol di DPR telah mengesahkan UU Cipta Kerja yang anti petani. Akibatnya, investasi yang melakukan perampasan tanah pertanian, penggusuran kampung dan wilayah adat semakin merajalela. Selama 10 tahun terakhir telah terjadi 2.939 konflik agraria seluas 6,30 juta hektar, dimana 1,7 juta keluarga menjadi korban konflik agraria.
Fakta ini menunjukkan terjadi kenaikan lebih 100 persen dibandingkan jumlah dan dampak konflik agraria selama 10 tahun Pemerintahan SBY (KPA, 2023). Di sisi lain, solusi lapangan kerja yang dijanjikan ala UUCK bagi petani dan perempuan desa tidak terjadi. Oleh karena itu 1,40 juta orang perempuan dipaksa bermigrasi bahkan ke luar negeri untuk menjadi buruh, tanpa perlindungan yang memadai (BP2MI, 2023).
Ketujuh, pemerintah justru memangkas berbagai subsidi yang menjadi hak bagi petani dan nelayan. Pemerintah justru mempersulit produksi petani dan nelayan melalui kebijakan Kartu Tani, Kartu Nelayan, Zonasi Distribusi Pupuk, Zona Tangkap, larangan dan pembatasan benih swadaya dan naiknya beban pajak, akibatnya hasil produksi rakyat tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Baca Juga: Penambangan dan Ekspor Pasir Laut Kiamat Sosial Ekologis di Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil
Ironisnya, meski telah lahir UU Perlindungan dan Petani, kebebasan petani untuk berserikat tanpa diseragamkan dalam poktan/gapoktan masih dilanggar, disertai diskriminasi akses atas program-program pemerintah bagi kelompok-kelompok petani dan nelayan yang bersikap kritis.
Kedelapan, pemerintah membiarkan praktik korupsi agraria-SDA dan mafia tanah. Padahal, dalam struktur ekonomi nasional yang bersandarkan pada pengerukan kekayaan sumber-sumber agraria, episentrum utama korupsi ada dalam tubuh pemerintah yang memberi izin, hak dan mengelola langsung sumber-sumber agraria kita.
Misalnya, melalui kebijakan UUCK terkait Bank Tanah, Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dan Pengampunan Keterlanjuran Bisnis Ilegal Kehutanan, Tambang dan Sawit. Dari ketiga kanal kebijakan ini, legalisasi korupsi agraria-SDA mencapai 8,84 juta hektar (KPA, 2023).
Baca Juga: Daerah Rentan Likuefaksi di Indonesia Punya Tingkat Kepadatan Penduduk Tinggi
Kesembilan, pemerintah berbuat jahat dengan melakukan cara-cara represif dan intimidatif di wilayah konflik agraria, melalui pengerahan aparat keamanan dan memecah belah rakyat. Sistem hukum, birokrat dan aparat sudah menjadi bagian dari bisnis pengusaha, bahkan dalam kendalinya para taipan.
Penggunaan aturan oleh polisi untuk melindungi bisnis pengusaha dan merepresi rakyat sudah menjadi tontonan sehari-hari. Alhasil 2.442 petani, masyarakat adat, perempuan dan aktivis telah dikriminalisasi. Dari korban konflik agraria tersebut 181 orang diantaranya merupakan perempuan.
Akibat perlakuan rezim Jokowi kepada perempuan seperti ini tidak mengherankan jika 1,40 juta orang perempuan dipaksa bermigrasi bahkan ke luar negeri untuk menjadi buruh, tanpa perlindungan yang memadai (BP2MI, 2023). Selanjutnya, 1.062 orang harus mengalami penganiayaan dan penangkapan karena mempertahankan hak konstitusionalnya atas tanah dan sumber kehidupan (KPA, 2023).
Baca Juga: Sarwidi, Ini Langkah Nasional ke Depan Mensikapi Indonesia Rawan Gempa Bumi
Kesepuluh, pemerintah anti petani kecil sehingga gagal menyejahterakan petani dan gagal mewujudkan kedaulatan pangan. Pemerintah secara sistematis mendorong pembangunan pertanian pangan yang lebih bertumpu pada korporasi pangan sebagai penyedia pangan melalui food estate. Petani semakin gurem dan miskin, posisi mereka yakni petani dan nelayan sebagai produsen pangan terus dilemahkan.
Kebijakan pangan pemerintahan jokowi juga telah menghilangkan kedaulatan perempuan terhadap sistem produksi lokal. Triliunan uang rakyat dan investasi dalam program-program ketahanan pangan dan pembangunan kawasan pangan, bukan digunakan untuk melindungi dan memperbaiki sistem produksi pertanian dan sektor perikanan rakyat, bukan untuk memperkuat agenda Reforma Agraria demi perwujudan kedaulatan pangan. Justru program-program itu digelontorkan untuk perusahaan pangan raksasa.
Discussion about this post