Wanaloka.com – Sampah plastik sekali pakai (PSP) menjadi jenis sampah yang mendominasi volume timbulan sampah di wilayah DIY. Seperti hasil studi Brand Audit and Beach Clean-up yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta bersama dengan organisasi dan komunitas pecinta alam di Pantai Baros di Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul pada Februari 2023 lalu. Bahwa dari 1.527 potongan sampah yang ditemukan dari hasil bersih-bersih sampah di sana, sebanyak 72 persen sampah merupakan PSP. Sisanya adalah logam kaca, sampah B3, tekstil dan karet.
Sampah PSP tersebut berupa kemasan-kemasan produk industri-industri besar, khususnya perusahaan Fast Moving Consumer Good (FMCG) yang memproduksi kebutuhan sehari-hari seperti PT. Wings Indonesia, PT. Unilever Indonesia dan PT Indofood CBP. Rata-rata setiap perusahaan itu menyumbang sekitar 20 persen sampah PSP di Pantai Baros.
Disusul perusahaan-perusahaan lain seperti Mayora, Danone, Uni-Charm, dan Siantar Top yang menyumbang antara 3-6 persen sampah PSP. Sedangkan kategori merek terdapat 10 brand teratas yang paling mencemari yaitu Mie Sedap, Indomie, So Klin, Mie Goreng Spix, Fair n Lovely, Aqua, Sunlight, Freshco, dan Daya.
Baca Juga: Kualitas Udara Jakarta Memburuk, Presiden Dituntut Bertanggung Jawab
“Penggunaan kemasan plastik oleh industri-industri besar semakin tidak terkendali akibat regulasi yang tidak jelas,” kata Direktur Walhi Yogyakarta, Gandar Mahojwala dalam siaran pers tertanggal 8 Agustus 2023.
Hasil studi tersebut menjadi petunjuk urgensi regulasi untuk mengatur plastik sekali pakai. Mengingat beragam penelitian menunjukkan, meskipun produk dengan kemasan PSP itu murah, mudah dan instan, tetapi setelah PSP menjadi mikroplastik dan masuk ke dalam tubuh manusia dapat mengakibatkan kanker, gangguan pernapasan, dan ASI Ibu terpapar mikroplastik.
“Sudah saatnya regulasi terkait PSP dibuat dan ditegakkan di Yogyakarta,” tegas Gandar.
Baca Juga: Emilya Nurjani: Pencemaran Udara Tinggi Dipicu Cuaca Musim Kemarau
Walhi Yogyakarta mendorong penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) di Yogyakarta, sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 15 undang-undang tersebut menyatakan, bahwa produsen bertanggung jawab atas pembuangan kemasan dan produk yang tidak dapat dikomposkan atau sulit untuk dijadikan kompos. Dari Brand Audit tersebut diketahui daftar perusahaan-perusahaan yang harus didorong pertanggungjawabannya atas plastik yang diproduksi.
Sementara Pasal 11 Perda DIY Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah, terdapat kewajiban produsen menghasilkan produk dengan kemasan yang mudah terurai. Dalam Kajian Evaluasi Perda DIY, klausul Pasal 11 akan ditambah dengan narasi, bahwa produsen yang tidak menggunakan kemasan yang mudah terurai akan dikenakan kompensasi atau retribusi. Rumusan tersebut berdasarkan mekanisme Polluter Pays Principle dimana perusahaan mempunyai tanggung jawab atas beban biaya yang digunakan untuk memikul biaya pencegahan (preventive) atau biaya penanggulanan (restorative).
Baca Juga: Tiga Pulau Indonesia Diguncang Lindu Hari Ini
Masih banyak sampah plastik sekali pakai pada data Brand Audit menunjukkan bahwa pemerintah belum benar-benar serius menangani permasalahan sampah di DIY. Hasil penelusuran WALHI Yogyakarta juga membuktikan bahwa konsekuensi terhadap produsen belum optimal. Perda DIY Nomor 3 tersebut juga dinilai belum mengakomodir permasalahan sampah di DIY.
“Seharusnya terdapat pembatasan sampah PSP yang dimunculkan dalam perda DIY,” kata pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Danang Kurnia A.
Discussion about this post