“Saat perempuan dan masyarakat memperjuangkan ruang kelola mereka justru di kriminalisasi, intimidasi bahkan melakukan kekerasan yang menyasar ketubuhan perempuan,” kata Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi.
Baca Juga: Gunung Lewotobi Laki-Laki Erupsi, Atap Rumah Warga Rusak
Gagal sejak dalam agenda
Di tengah dampak ancaman krisis iklim yang semakin tak terhindarkan saat ini, Indonesia masih memiliki problem serius, yakni krisis demokrasi. Krisis iklim meningkatkan intensitas bencana iklim dan anomali cuaca, seperti kenaikan muka air laut, abrasi, kemarau berkepanjangan serta banjir bandang, kelompok rentan meliputi disabilitas, nelayan kecil dan tradisional, buruh tani, perempuan, masyarakat adat, kelompok miskin perkotaan, serta buruh. Sekaligus harus menghadapi dan mengalami kehilangan dan kerusakan, dan beban berlapis akibat krisis iklim.
“Hasil Konsultasi Rakyat (KR) yang dilakukan ARUKI di 12 provinsi menunjukkan dampak terberat krisis iklim justru dialami kelompok rentan,” kata Direktur Yayasan PIKUL, Torry Kuswardono.
Pertama, dampak krisis iklim terjadi mengakibatkan kehilangan mata pencaharian, penurunan pendapatan hingga kerusakan tempat tinggal, bahkan di beberapa wilayah telah terjadi migrasi penduduk akibat krisis iklim. Kedua, proyek-proyek pembangunan yang sarat melahirkan konflik sosial dan penghancuran keseimbangan ekologi dan atmosfer semakin memperberat kemampuan adaptasi rakyat, terutama kelompok rentan, dalam merespon krisis iklim.
Baca Juga: KKP akan Adopsi Pengelolaan Sedimentasi Laut Perairan Morodemak di Pesisir Lain
Saat kelompok rentan harus menanggung dan menghadapi bahaya dan ancaman kerusakan dan kehilangan akibat krisis iklim, pelibatan secara setara dan partisipasi bermakna kelompok rentan dalam seluruh agenda pembangunan ekonomi maupun program serta aksi-aksi iklim justru diabaikan.
“Pemerintahan Prabowo cenderung memilih untuk melanjutkan program serta proyek-proyek yang kental dengan realitas climate washing, green washing. Faktanya adalah solusi salah atasi krisis iklim,” jelas Peneliti ICEL, Syaharani.
Food estate, blue economy (ekonomi biru), proyek hilirisasi, dan sejumlah proyek lain terbukti hanyalah solusi palsu iklim. Proyek-proyek yang mengatasnamakan aksi iklim, nyatanya hanya menjadi bussiness as usual (BAU) yang lebih menekankan pada investasi skala besar. Namun cenderung menambah persoalan dan kerentanan rakyat akibat perubahan iklim, serta semakin menyulitkan rakyat untuk beradaptasi.
Baca Juga: Status Gunung Api Iya Waspada, Letusan Bisa Akibatkan Longsoran ke Laut
Proyek geothermal, pengelolaan hasil sedimentasi di laut, CCUS, PLTA, kendaraan listrik dan berbagai proyek transisi energi lainnya, justru memperluas kerusakan lingkungan, merusak hutan, bencana, melanggar HAM dan kerugian bagi rakyat.
Aruki juga menilai kegagalan yang sama ditunjukkan pemerintahan Prabowo-Gibran sejak awal dalam bualan target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Menargetkan pertumbuhan ekonomi semata, tetapi mengabaikan keadilan dalam agenda-agendanya akan semakin memperluas dan memperburuk kondisi krisis iklim yang memperberat beban rakyat.
“Jelas pasangan Presiden dan Wakil Presiden baru ini telah gagal sejak dalam agenda,” demikian pernyataan penutup Aruki yang beranggotakan 30 organisasi masyarakat sipil di Indonesia. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post