Wanaloka.com – Masyarakat adat memiliki nasib serupa dengan masyarakat asli di berbagai belahan dunia yang mengalami diskriminasi, perampasan, dan pemindahan dari wilayahnya. Di Indonesia, masyarakat adat mengalami pelemahan eksistensi dan penghidupannya secara masif ketika Orde Baru berkuasa.
Setelah reformasi, gerakan masyarakat adat melakukan berbagai agenda aksi untuk meningkatkan posisi tawar dalam relasi kuasa dengan negara. Salah satunya melakukan konsolidasi gerakan sehingga membentuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 1999.
“Tren kemajuan gerakan masyarakat adat merupakan buah karya perjuangan mereka sendiri dengan dukungan dan kerja kolaboratif dengan berbagai OMS, termasuk lembaga swadaya masyarakat dan aktivisnya, media, dan akademisi kritis,” ucap Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Bambang Hudayana dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, 19 Januari 2023.
Baca Juga: Pengendalian HFC di Indonesia Mulai 2024 untuk Mencegah Pemanasan Global
Kaum akademisi dari disiplin ilmu, seperti antropologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu hukum dan pembangunan sosial banyak menyumbangkan pemikiran bagi masyarakat adat. Sesuai dengan mandat keilmuan, antropologi ikut memberi kontribusi spesifik bagi masyarakat adat dalam bentuk produksi pengetahuan yang relevan untuk alat perjuangan, berperan sebagai profesional antropologi di lapangan, dan terlibat langsung dalam gerakan dengan ikut memfasilitasi kegiatan advokasi dan pendampingan.
Bambang menyebutkan ada enam sumbangsih antropologi bagi gerakan masyarakat adat. Meliputi menghasilkan karya dan metode etnografi, menghasilkan etnografi dan sikap kritis terhadap pembangunan, menghasilkan kajian ekonomi politik atas dominasi perusahaan ekstraktif terhadap masyarakat adat, dan menghasilkan karya etnografi yang bersikap kritis terhadap land grabbing.
Baca Juga: Mitigasi Bencana Karhutla 2023, Pemerintah Warning Perusahaan Swasta
Discussion about this post