Wanaloka.com – KTT G20 yang dibentuk pada tahun 1999 usai krisis keuangan Asia telah memposisikan dirinya sebagai “forum utama” kerja sama ekonomi internasional yang berperan untuk mengatasi permasalahan ekonomi dan keuangan global. Perkembangan dari tahun demi tahun, 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia telah gagal memenuhi komitmen mereka. Sebaliknya, mereka terus membelanjakan uang negara dan atau mendukung kebijakan-kebijakan yang lemah, upaya untuk menutup kesenjangan dalam keringanan utang, perpajakan. Juga mitigasi perubahan iklim dan transisi energi yang hanya memperburuk dampak berbagai krisis, serta tidak melihat kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat yang terpinggirkan.
Tahun 2023, KTT G20 memasuki usia ke-24. Tanggal 9-10 September 2023 lalu telah digelar di India dengan mengusung tema “Vasudhaiva Kutumbakam” atau Satu Bumi. Satu Keluarga. Satu Masa Depan (One Earth, One Family, One Future). Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia yang terdiri dari Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Perempuan Indonesia, Debt Watch dan Solidaritas Perempuan mengkritisinya: apakah hasil KTT G20 seindah tema yang digaungkan? Mereka pun Menyusun catatan-catatan kritis atas KTT G20 itu.
Ketidakadilan Iklim dan Energi
Meskipun negara-negara G20 berkomitmen menghapuskan bahan bakar fosil pada tahun 2009, nyatanya sampai sekarang masih menggunakannya secara intensif. Dana publik pun dihabiskan untuk batubara, minyak dan gas. Dokumen hasil Pertemuan Tingkat Menteri Energi G20 pada Juli 2023 lalu mencerminkan target pengurangan emisi gas rumah kaca lemah. Sebaliknya, antusiasme terhadap bahan bakar fosil masih tinggi.
Baca Juga: Haryono Budi Santosa: Limbah Nuklir Fukushima Aman Dibuang ke Laut
Indonesia berkomitmen mencapai target Net Zero Emission pada 2060. Penyelarasan dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan. Namun Perpres itu justru mengisyaratkan PLTU Batubara dapat diperpanjang hingga tahun 2050 dengan pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan. Tentu saja upaya itu bertentangan dengan upaya transisi energi.
Pada pertemuan KTT G20 di Bali, pemerintah meluncurkan platform Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan nilai investasi sebesar Rp314 triliun. Salah satu tujuannya adalah menghentikan segera mungkin PLTU. Sayangnya, skema ETM dan JETP mengabaikan dampak yang telah ditimbulkan PLTU dan tambang batubara terhadap kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup masyarakat di sekitar PLTU dan tambang.
Skema ETM dan JETP tidak melihat pemulihan lingkungan dan pemulihan hak rakyat sebagai bagian utama dari skema ini. Mengenai implikasinya terhadap masyarakat di PLTU dan tambang batubara, karena masyarakat sering kali diabaikan dalam proses-proses pengambilan keputusan. Akibatnya berdampak buruk pada mereka.
Baca Juga: Catatan Masyarakat Sipil: KTT ASEAN 2023 Jadi Episentrum Krisis
Hampir keseluruhan inisiasi pendanaan dari ETM dan JETP merupakan utang (hanya 0,8 persen dana JETP di Indonesia dalam bentuk hibah). Menerima skema pendanaan transisi yang dipenuhi skema utang akan berakhir menjadi beban berlapis pemerintah negara selatan. Awalnya, mereka akan dipaksa menerima investasi dengan beban besar untuk membangun infrastruktur energi fosil, lalu disajikan skema transisi energi yang penuh utang baru.
Pengembangan energi terbarukan pun masih berorientasi pada skala makro dan hanya melihat pada satu aspek, yaitu energi rendah karbon. Akibatnya, pengembangan energi terbarukan justru menimbulkan persoalan baru, terutama pada keberlangsungan ekologi, perlindungan Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan, serta pelestarian kearifan lokal. Misalnya pada pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/ Geothermal, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang justru memperparah pengrusakan lingkungan. Juga penggusuran tempat tinggal dan sumber mata pencaharian masyarakat, serta kekerasan terhadap masyarakat lokal, termasuk kekerasan terhadap perempuan, anak, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya.
Baca Juga: Garinda Alma: 6M Plus 1S Antisipasi Gangguan Pernafasan Akibat Polusi Udara
Negara Terjerat Utang
Utang publik global masih tetap tinggi karena kerentanan utang di negara-negara Selatan, termasuk negara-negara Asia, meningkat di tengah guncangan global yang terjadi. Langkah-langkah bantuan G20 lewat Inisiatif Penangguhan Pembayaran Utang (DSSI), dan Kerangka Umum tentang Perlakukan Utang di luar DSSI terus mengecewakan negara-negara yang terbebani utang dan terancam oleh perubahan iklim. Meski data menunjukkan pada Mei 2020 hingga Desember 2021, inisiatif ini menangguhkan pembayaran utang negara-negara peserta kepada krediturnya sebesar $12,9 miliar. Namun dengan berakhirnya waktu DSSI, negara-negara miskin yang tidak sanggup untuk membayar utang akan tetap terjerat, seperti Chad, Namibia dan Ethiopia.
Lebih buruk lagi, G20 mendorong lebih banyak solusi yang menciptakan utang terhadap krisis iklim. Itu sebuah langkah yang menipu dengan mengeksploitasi keadaan darurat iklim untuk mendorong lebih banyak pinjaman dan membuat negara-negara Selatan terjebak dalam akumulasi utang dan ketergantungan utang yang lebih besar. Utang memberikan dampak kemiskinan dan ketimpangan antar negara. Pemerintah Indonesia pun saat ini sedang mengincar utang baru di G20 lewat skema Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) yang menyediakan dana cadangannya sebesar US$ 600 Miliar Dolar AS selama 5 tahun.
Baca Juga: Kontribusi PLTU Swasta dalam Polusi Udara, KLHK Terapkan Sanksi Berlapis
Pajak dan Distribusi Tidak Adil
Reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil menjadi salah satu fokus agenda lanjutan G20. Reformasi itu dilakukan melalui pengalokasian hak pemajakan kepada negara yang menjadi pasar produk barang dan jasa digital (negara pasar) yang dikenal sebagai Pilar 1. Serta memastikan semua perusahaan multinasional (multinational enterprise /MNE) membayar pajak minimum di semua tempat perusahaan tersebut beroperasi atau yang disebut dengan Pilar 2.
‘Solusi’ dua pilar yang dihadirkan oleh G20/OECD, sebuah lingkaran eksklusif yang didominasi oleh agenda negara-negara Utara (Global North), menjadi penghalang bagi tuntutan negara-negara berkembang terhadap sistem yang adil dalam mengalokasikan hak perpajakan dan mengenakan pajak keuntungan perusahaan multinasional.
Seruan terhadap Pajak Kekayaan (Wealth Tax) untuk mengatasi semua kesenjangan dalam sistem perpajakan kita harus diperkuat, seiring dengan tuntutan pemerintah untuk menggunakan pendapatan perpajakan untuk mendanai transisi yang adil dan untuk menjamin hak-hak masyarakat atas layanan publik yang adil gender, bukan untuk subsidi industri bahan bakar fosil. Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia menolak dan mengecam sistem ekonomi yang tidak adil yang memungkinkan para miliarder meningkatkan kekayaan mereka. Sementara akses masyarakat terhadap kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, dan layanan publik lainnya terbatas.
Baca Juga: Kisah Heroik Perempuan Panglima Angkatan Laut Malahayati di Panggung Teater
Atas tiga catatan kritis itu, Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia menyerukan:
Pertama, mendorong demokrasi energi yang mengutamakan energi untuk masyarakat ketimbang untuk industri, dan memberikan masyarakat termasuk perempuan kekuasaan untuk memutuskan mengenai sumber-sumber energi yang ingin mereka gunakan.
Kedua, mendesak tanggung jawab historis dan pemenuhan komitmen pembiayaan iklim dari negara-negara industri maju, termasuk G20.
Ketiga, tidak ada lagi kesepakatan-kesepakatan G20 yang melahirkan kebijakan, skema dan proyek-proyek solusi palsu.
Keempat, pendanaan publik untuk keadilan gender, iklim dan ekonomi.
Kelima, mendesak G20 berhenti menawarkan solusi utang, batalkan utang untuk negara-negara miskin.
Keenam, menjadikan pajak bekerja untuk perempuan, keadilan iklim dan mengakhiri ketimpangan.
Utang atas Nama Pelestarian Bumi
Kekhawatiran jaringan masyarakat sipil itu cukup beralasan usai menyimak pidato dan sejumlah pertemuan bilateral Presiden Joko Widodo dalam KTT G20 itu. Jokowi mengajak para pemimpin negara G20 untuk melakukan aksi nyata dalam melindungi kelestarian bumi. Upaya bersama menjaga bumi karena bumi merupakan milik semua pihak dan milik generasi masa depan.
Discussion about this post