Wanaloka.com – Penggunaan instrumen kekerasan secara sistematis di Pulau Rempang Batam adalah puncak gunung es. Peristiwa tersebut mewakili timbunan konflik yang tersebar hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai praktik negara masih jauh dari mandat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang dicetuskan pada tahun 1960.
“Konflik agraria meningkat secara signifikan terutama di daerah-daerah yang terdapat Proyek Strategis Nasional (PSN),” kata Juru bicara Walhi Ully ArthA Siagian dalam siaran pers terkait peringatan Hari Tani Nasional (HTN) bertema “Liberalisasi Agraria, Penindasan Di Pelupuk Mata”.
Dia membeberkan pihaknya telah menangani 72 konflik yang tersebar di 20 provinsi dan berdampak terhadap sekitar 320 ribu jiwa keluarga petani. Konflik tersebut berlangsung antara petani kecil berhadapan dengan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan korporasi swasta yang mendapatkan dukungan penuh pemerintah. Pemerintah bahkan mengerahkan aparat bersenjata untuk memuluskan agenda perampasan tanah rakyat seperti yang terjadi di Rempang.
Baca Juga: Makertihartha: Konversi Minyak Nabati Menjadi Bahan Bakar Nabati untuk EBT
Dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan mengatasi krisis iklim, PSN menerabas semua rintangan, baik terkait mekanisme kebijakan di daerah, klaim rakyat terhadap tanah, adat, hingga kebudayaan dan sistem sosial yang telah tumbuh di sebuah wilayah. Sekalipun berlabel proyek negara, PSN banyak yang dilimpahkan kepada korporasi dan segelintir elit dengan kemudahan pemberian perizinan. PSN menjadi jalan yang memudahkan aktor swasta mendapatkan ruang eksploitasi dan menguasai sumber-sumber agraria yang dikelola rakyat.
“Dalam peringatan HTN tahun ini yang bertepatan dengan tahun politik, justru menunjukkan semakin masifnya konflik agraria di berbagai daerah,”kata Ully.
Laporan Walhi terhadap konflik agraria ke Kementerian Agraria Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan kementerian terkait lainnya masih sangat lambat direspon pihak terkait. Sebaliknya, wilayah-wilayah yang dilaporkan Walhi justru mendapat tekanan tindakan represif dari aparat. Setidaknya lebih dari 12 orang yang dikriminalisasi akibat memperjuangkan sumber agrarianya.
Baca Juga: Ada 106 Konflik Agraria, YLBHI Desak PSN Dibatalkan
Walhi melihat setidaknya ada lima pokok permasalah agraria di Indonesia. Pertama, isu tata kelola sumber daya agraria berkeadilan, cabang produksi pertanian, peternakan, perikanan, perampasan tanah dan alih fungsi. Kedua, isu lingkungan dan krisis iklim. Ketiga, isu hak dan keadilan sosial. Keempat, isu kriminalisasi aktivis, pejuang lingkungan, dan pejuang agraria. Kelima, isu kesejahteraan rakyat petani, peternak, dan nelayan.
Walhi menilai proyek ambisius pemerintahan Jokowi telah menjelma menjadi tiga jenis kekerasan. Pertama, kekerasan struktural. Kebijakan PSN merupakan bentuk nyata kekerasan struktural yang dilakukan rezim Jokowi. Kedua, kekerasan langsung (fisik) di mana rakyat yang mempertahankan sumber agrarianya dipukul mundur dengan kekuatan represif, seperti kriminalisasi dan kekerasan. Ketiga, kekerasan kultural, melakukan pemaksaan proyek yang seolah-olah benar dan memusnahkan keragaman, tradisi dan budaya masyarakat. Proyek food estate salah satunya, justru menghilangkan kultur pangan-pangan lokal yang ada.
Discussion about this post