“Kontribusi batu bara di sektor energi akan membawa Indonesia menjadi penghasil emisi terbesar ke sembilan di dunia dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021,” kata Kepala Divisi Kampanye Walhi, Fanny Tri Jambore dalam keterangan tertulis tertanggal 6 Juni 2024.
Keempat, menimbulkan risiko besar bagi ketahanan pangan di masa mendatang. Sebab luasan tambang batu bara dilaporkan mencakup 19 persen dari areal persawahan yang ada dan 23 persen lahan yang tersedia untuk budidaya padi baru. Artinya, 15 persen kawasan yang diperuntukkan bagi budidaya perkebunan juga berisiko dibuka dan ditambang untuk produksi batu bara.
Kelima, pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan akan membuat ormas-ormas ini nantinya berakhir bertikai dengan warga anggotanya sendiri. Mengingat luasan pertambangan batu bara, terutama yang berada di wilayah penting, baik secara ekologis maupun di Wilayah Kelola Rakyat menyebabkan konflik pertambangan terus berlangsung.
Baca Juga: Penerima Kalpataru 2024 dari Profesor Mangrove hingga Pendaur Ulang Sampah
Dalam catatan Walhi, sepanjang periode pemerintahan Jokowi terdapat 827 kasus kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi yang dialami rakyat. Sebagian besar kasus ini di wilayah-wilayah pertambangan.
“Ironis bagi organisasi keagamaan yang dibentuk untuk tujuan mulia menyebarkan ajaran kebaikan apabila harus berakhir menyebabkan konflik, baik dengan masyarakat umum. Lebih-lebih lagi dengan warga anggotanya sendiri karena pemberian izin tambang ini,” ungkap Fanny.
Keenam, pemberian prioritas IUPK kepada ormas keagamaan juga risiko besar akan berakhir menjadi bancakan para pemain tambang yang secara keahlian teknis dan tata niaganya telah memiliki pengalaman dalam bisnis tambang. Kebutuhan kemampuan mobilisasi sumber daya untuk mendukung operasi teknis dalam bisnis tambang serta penguasaan terhadap tata niaga batu bara, bukanlah kemampuan yang dimiliki ormas-ormas keagamaan.
Baca Juga: Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024, Ini Pesan Walhi untuk Pemerintah Terpilih
“Karena ormas keagamaan memang tidak dibentuk untuk tujuan bisnis tambang,” imbuh Fanny.
Kekosongan kemampuan ini bisa menjadi celah bagi pemain lama bisnis tambang untuk mengambil alih operasi pertambangan dari IUPK yang diberikan prioritasnya kepada organisasi keagamaan. Akhirnya hanya akan berakhir menjadi operasi bisnis tambang umumnya yang berisiko tinggi memicu kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia. Bedanya, kali ini para pemain tambang mendapatkan keuntungan dan ormas-ormas keagamaan yang mendapatkan getah dari lunturnya nama baik mereka akibat dampak yang ditimbulkan bisnis pertambangan.
Ketujuh, menjadi pukulan besar dari upaya berbagai tokoh dan kelompok-kelompok keagamaan yang secara tekun menjadi pendamping bagi advokasi lingkungan hidup di berbagai daerah di Indonesia. Di Padarincang, Banten, misalnya para tokoh pesantren menjadi tulang punggung perjuangan warga melawan ancaman sumber mata air, baik dari proyek privatisasi udara maupun dari proyek energi panas bumi.
Baca Juga: Din Syamsuddin, Muhammadiyah Harus Tolak Konsesi Tambang karena Lingkaran Setan
“Jika ormas-ormas keagamaan menerima tawaran pemerintah untuk mengelola bisnis pertambangan, maka akan bertolak belakang dengan semangat pelestarian lingkungan hidup yang diperjuangkan tokoh-tokoh agama di berbagai daerah, seperti di Padarincang ini,” papar Fanny.
Kedelapan, upaya memberikan izin pertambangan pada organisasi keagamaan hanya menjadi pembenaran terhadap segala perusakan yang telah terjadi di Indonesia. Dengan kepedulian yang besar terhadap lingkungan hidup dan kehidupan warga di Indonesia, Walhi mengajak ormas-ormas keagamaan untuk menolak pemberian izin pertambangan yang ditawarkan pemerintah.
Dan Walhi mengajak ormas-ormas keagamaan berhimpun kembali dengan berbagai perjuangan pelestarian lingkungan yang juga digalang tokoh-tokoh keagamaan di berbagai wilayah untuk memulihkan kembali Indonesia dari daya rusaknya lingkungan akibat rusaknya demokrasi dan sistem politik Indonesia.
“Di antara semakin parahnya tatanan ekologis dan kepemimpinan politik yang semakin membawa kerusakan dalam kehidupan warga, kepemimpinan spiritual dari ormas-ormas keagamaan harusnya menjadi salah satu jawaban untuk mempertahankan dan memulihkan ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan warga,” kata Fanny. [WLC02]
Discussion about this post