Ia juga mendorong komunitas untuk terus menyampaikan laporan kepada pelapor khusus PBB lainnya, tergantung isu yang dihadapi.
Baca juga: Menteri Kesehatan Janjikan Nol Kusta, Nol Disabilitas, Nol Stigma
“Hak masyarakat adat tidak bergantung pada pengakuan negara. Masyarakat adat sudah ada jauh sebelum negara terbentuk,” ujar Barume.
Hak masyarakat adat dalam hukum internasional setara dengan hak suatu bangsa, dan masyarakat adat mempunyai hak sesuai hukum internasional.
Pada kesempatan yang sama, Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi meminta kepada semua orang di dunia, terutama Indonesia untuk bisa melihat apa yang selama ini dihadapi masyarakat adat Papua.
Baca juga: Puncak Banjir dan Longsor Lagi, Menteri Hanif Cabut Izin Lingkungan dan Rehabilitasi Kawasan
“Warga Indonesia berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, untuk memperoleh itu, kita tidak boleh menghisap darah dan air mata, serta hak-hak saudara kita, masyarakat adat di Papua,” tegas Rukka.
Dengan kehadiran utusan khusus PBB, masyarakat adat Papua dan berbagai organisasi masyarakat sipil berharap dunia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Papua dan bagaimana perampasan wilayah adat dan perampasan hak-hak sipil terus terjadi dan semakin masif. Dan berharap PBB mengambil sikap yang tegas atas tindakan pemerintah Indonesia terhadap masyarakat adat di Papua.
Rekomendasi untuk pelapor khusus PBB
Masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil mengajukan sejumlah rekomendasi kepada Pelapor Khusus PBB untuk hak-hak masyarakat adat Albert K. Barume dalam pertemuan yang berlangsung di Bogor, Kamis, 10 Juli 2025. Rekomendasi yang diajukan diakhir kunjungan akademik Barume ke beberapa daerah ini mengandung harapan kolektif dalam upaya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Baca juga: Kawasan Pasar, Kuliner, dan Mal Wajib Kelola Sampah Mandiri
Pelapor Khusus PBB itu diharapkan bisa menjalankan rekomendasi yang berisi empat poin.
Pertama, mendorong pemerintah Indonesia untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat atas wilayah adat yang dirampas atas nama Pembangunan.
Kedua, mendesak evaluasi terhadap proyek strategis nasional di wilayah adat dan menjamin keterlibatan penuh masyarakat adat dalam setiap proses pembangunan.
Ketiga, meminta agar pemerintah menjalankan prinsip-prinsip Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
Baca juga: Riset Bakteri Wolbachia Gantikan Kelambu untuk Kendalikan Malaria di Papua
Keempat, mendesak pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai dasar hukum perlindungan kolektif.
Pengakuan negara atas wilayah adat minim
Kasmita Widodo dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menyatakan rekomendasi ini sangat penting artinya bagi masyarakat adat mengingat sebagian besar wilayah adat masih berada dalam ketidakpastian hukum dan terancam proyek-proyek berskala besar.
Kasmita menjelaskan, sejak 1980-an, pemetaan partisipatif telah menjadi alat advokasi masyarakat adat untuk menegaskan keterhubungan mereka dengan wilayah adat. Sekaligus melawan klaim negara dan korporasi atas tanah masyarakat adat.
Baca juga: Delapan Virus Baru Teridentifikasi pada Kelelawar, Pakar Ingatkan Risiko Zoonosis
Berdasarkan data BRWA, hingga Maret 2025 terdapat 1.583 wilayah adat seluas 32,3 juta hektare yang telah dipetakan dan diregistrasi melalui pemetaan partisipatif. Namun, baru 302 wilayah adat atau sekitar 5,3 juta hektare yang diakui secara resmi oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah.
“Artinya, hanya sekitar 19 persen dari wilayah adat yang telah dipetakan yang mendapat pengakuan hukum negara,” kata dia.
Ia menerangkan pemetaan ini adalah bentuk visibilitas masyarakat adat. Bukan hanya dalam peta, tapi juga dalam ruang-ruang pengambilan keputusan.
Baca juga: Ahli Meteorologi Ingatkan Waspada Kekeringan Meskipun Kemarau Basah
Sorotan tajam juga disampaikan perwakilan dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dalam pertemuan ini. JKPP menilai negara selama ini hanya menyuarakan data resmi dan formal. Padahal data tersebut belum tentu valid dan tidak selalu menggambarkan realitas dan kondisi masyarakat adat.
“Tidak ada satu pun kementerian yang menjadi wali data untuk wilayah adat. Sementara data yang berasal dari komunitas kerap diabaikan, hanya masyarakat adat yang paham situasi terkait dengan ruang mereka hari ini,” ujar perwakilan JKPP.
Dialog masyarakat adat dan negara
Sementara, Venny Siregar dari Koalisi RUU Masyarakat Adat menyoroti lambannya proses legislasi yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade.
Baca juga: KIKA Ingatkan SLAPP Ancaman Serius Kebebasan Akademik Saksi Ahli di Indonesia
“Selama 15 tahun, RUU Masyarakat Adat hanya masuk sebagai usulan anggota DPR, namun belum pernah menjadi inisiatif pemerintah. Prosesnya masih panjang,” ujar dia.
Dalam pertemuan terakhir dengan Badan Legislasi DPR, masih banyak penolakan terhadap substansi yang diajukan, termasuk belum diakuinya wilayah adat secara eksplisit. Dalam naskah terbaru, koalisi berupaya meminimalkan narasi yang menyudutkan masyarakat adat sebagai penghambat investasi.
“Kami mendorong ruang dialog langsung antara masyarakat adat dan negara, agar masyarakat adat bisa menyampaikan sendiri persoalan dan kebutuhannya,” imbuh dia.
Baca juga: Mengenal Nimbus, Varian SARS-CoV-2 Dalam Pantauan WHO
Suara perempuan adat
Meiliana Yumi dari Perempuan AMAN menegaskan belakangan ini pelanggaran terhadap hak perempuan adat semakin menguat. Seiring masuknya militer, perusahaan, dan proyek strategis di wilayah adat. Realitas ini menjadi sangat relevan untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat.
“Kami mohon Pelapor Khusus PBB dapat mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat, dan menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” pinta Meiliana penuh harap.
Ia juga berharap Barume dapat menunjukkan komitmennya untuk memastikan suara perempuan adat hadir dalam pelaporan ke Dewan HAM PBB.
Baca juga: Kongres ILC di Bali, Indonesia Target Eliminasi Kusta di 11 Daerah
Dukungan dari gereja
Juandi dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang turut hadir dalam dialog menyampaikan dukungannya. Bahwa gereja di Indonesia menolak keterlibatan dalam industri ekstraktif dan aktif mengadvokasi keadilan ekologis.
Juandi mengungkap PGI pernah ditawari hak kelola tambang di awal pemerintahan Prabowo. Namun, PGI lebih memilih berdiri bersama masyarakat adat.
“Karena ini bagian dari menjaga ciptaan-Nya,” tandas Juandi.
Ia menambahkan atas sikap ini pula, PGI terlibat akitf dalam seruan Tutup Perusahaan Toba Pulp Lestari di Tano Batak, Sumatera Utara. [WLC02]
Sumber: AMAN
Discussion about this post