Wanaloka.com – Tanggal 25 Maret 2022, anak muda di seluruh dunia, termasuk lebih dari 20 kota di Indonesia menyerukan darurat iklim dalam gerakan Global Climate Strike. Gerakan global menuntut “Keselamatan Manusia, Bukan Keuntungan Segelintir” mengingat waktu kian sempit, sehingga kebijakan untuk menurunkan emisi dibutuhkan sekarang. Ilmu pengetahuan pun sudah sangat jelas membuktikan, bahwa bumi seisinya sedang berada di tengah kerusakan permanen akibat krisis iklim. Bahkan Laporan IPCC baru-baru ini menyatakan Kode Merah untuk kondisi bumi yang parah. Deklarasi darurat iklim sangat penting dilakukan sekarang.
Tahun ini, Indonesia menjadi sorotan dunia dengan kepemimpinan G20. Krisis iklim yang sedang dirasakan saat ini harus segera ditangani oleh seluruh pemimpin negara-negara di dunia. Kepemimpinan Indonesia dalam G20 dituntut untuk bisa menjadi contoh nyata negara berkembang yang berani melakukan transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Selain itu, serius menurunkan emisi dengan baseline (garis dasar) yang jelas dari berbagai sumber yang memperparah iklim. Kesulitan pendanaan dan alih transformasi teknologi didorong bersama negara-negara maju untuk membuat semuanya lebih cepat dan suhu bumi tetap di 1,5 derajat Celcius.
Baca Juga: IPCC: Krisis Iklim Memakan Korban Jiwa, Perbankan Harus Hentikan Pendanaan Batu Bara
Dunia sedang tidak baik-baik saja. Laporan dari panel peneliti PBB soal iklim (IPCC) Working Group 2 terbaru mengemukakan, bahwa dunia tengah menghadapi konsekuensi nyata dari krisis iklim. Berupa pengorbanan banyak jiwa, kehancuran produksi pangan, kehancuran alam, dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan siaran pers yang diterima Wanaloka.com, Jumat, 25 Maret 2022, tiga anak muda yang mewakili gerakan aksi darurat iklim menyampaikan pernyataan:
Koordinator Aksi Jakarta, Ben Barka:
“Pada saat pemerintah dunia tengah berlomba-lomba berkomitmen untuk merencanakan transisi energi secara serius, Pemerintah Indonesia justru menjual hutan, lahan, dan sumber daya alam maupun manusianya kepada oligarki pemilik industri ekstraktif atas nama investasi. Pada saat produksi listrik sudah berlebih, pemerintah terus merencanakan PLTU baru.
Pada saat kita ingin mengubah gaya hidup mobilitas yang ramah lingkungan dengan mengedepankan prinsip berkelanjutan, pemerintah justru mensubsidi harga mobil berbahan bakar fosil. Bahkan, pada saat kami generasi muda tengah berusaha saling membantu membangkitkan perekonomian bersama, pemerintah sibuk merencanakan Ibukota baru yang sampai hari ini masih menjadi ambisi kosong karena belum ada investor pasti dalam mega proyek tersebut.
Baca Juga: Peringati Hari Meteorologi Sedunia, Sekjen PBB Sebut Ulah Manusia Dampak Iklim Semakin Buruk
Generasi muda sudah cukup menjadi penonton. Kami menolak untuk tunduk terhadap berbagai ketidakbijakan bagi bangsa dan masa depan kami. Kami menuntut adanya perubahan sistemik atau systemic change karena sistem yang berjalan saat ini sudah hancur dan harus ditinggalkan. Apabila sistem yang rusak ini dibiarkan terus-menerus, maka bencana yang terjadi akibat krisis iklim akan semakin parah, dan bahkan tidak dapat dicegah lagi.
Mimpi “Indonesia Emas 2045” akan menjadi mimpi di siang bolong karena Indonesia akan punah pada tahun 2045 apabila pemerintah tidak mengambil perubahan secara signifikan dan tetap melakukan business as usual. Maka, kami mendesak pemerintah untuk mendeklarasikan darurat iklim segera, agar kebijakan-kebijakan yang dihasilkan merupakan kebijakan pro-iklim serta menjunjung keadilan ekologis demi masa depan umat manusia. Generasi mana yang pemerintah bangun saat ini?“
Koordinator Aksi Papua dan Komunitas Trada Sampah Jayapura, Dina Maria:
Discussion about this post