Wanaloka.com – Berdasarkan hasil penelitian Ecoton, ikan di Sungai Brantas, Bengawan Solo, Citarum dan Ciliwung yang mengalir di Pulau Jawa telah terkontaminasi mikroplastik. Kelimpahan rata-rata mikroplastik pada ikan sebesar 20 partikel per ikan (sampel Bengawan Solo), 42 partikel per ikan (sampel Brantas), 68 partikel per ikan (sampel Citarum), dan 167 partikel per ikan (sampel Kepulauan Seribu).
Kontaminasi mikroplastik pun sudah masuk ke dalam tubuh manusia. Mikroplastik ditemukan ada di dalam tinja manusia, plasenta ibu hamil, paru-paru dan di dalam darah. Ecoton menguji 102 sampel tinja manusia.
“Ada mikroplastik dalam 100 persen sampel tinja masyarakat dan pemimpin daerah di Jawa dan Bali,” kata Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi dalam siaran pers yang dilansir dari laman walhi.or.id, 13 April 2022.
Baca Juga: KLHK: Validasi Proyek Karbon Hutan Tak Sesuai Aturan Harus Dihentikan
Salah urus pengelolaan sampah hingga buruknya tata kelola sungai telah mengakibatkan pencemaran hingga kontaminasi mikroplastik di sungai Pulau Jawa. Para gubernur dinilai telah gagal dalam memenuhi tanggung jawab atas pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warganya. Atas pertimbangan tersebut, tiga lembaga pemerhati lingkungan, yakni Ecoton, Aliansi Zero Waste Indonesia, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melayangkan somasi atau teguran kepada para gubernur di Jawa agar segera merespon krisis kualitas air sungai dan sampah di wilayah administratif masing-masing.
Bahaya Mikroplastik
Kondisi tersebut menunjukkan sungai-sungai besar di Pulau Jawa telah tercemar sampah plastik yang terdegradasi menjadi mikroplastik dan telah mengkontaminasi rantai makanan di sungai dan laut. Banyaknya jumlah partikel mikroplastik dalam lambung ikan sangat mengkhawatirkan.
Pertama, setiap mikroplastik mengandung bahan beracun aditif plasticizer yang bersifat pengganggu hormon atau endocrine disrupting chemicals (EDC). Kedua, mikroplastik akan mengikat polutan-polutan dan patogen dalam media air yang akan ikut terserap masuk ke dalam tubuh ikan yang menelan mikroplastik. Ketiga, bahan aditif plastik seperti Ftalat, BPA, BPS, PFAS, dan Acrylate biasa digunakan untuk produk plastik rumah tangga yang terindikasi dapat mengganggu fungsi hormon dan memicu kanker.
Baca Juga: Green Design, Kontribusi Dunia Fashion agar Ramah Lingkungan
Sumber mikroplastik di sungai berasal dari point source limbah industri tekstil, industri daur ulang plastik dan kertas, dan non point source dari timbunan sampah plastik yang tidak terkelola di daratan, tetapi dibuang ke sempadan sungai dan membanjiri sungai.
Padahal Sungai Brantas, Bengawan Solo, Citarum dan Ciliwung adalah sungai nasional yang memiliki peran vital bagi Indonesia. Yakni sebagai air baku PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dan sumber irigasi area pertanian yang menyuplai lebih dari 50 persen stok pangan nasional.
“Ini ancaman serius mikroplastik yang mencemari sungai-sungai dan rantai makanan di Pulau Jawa,” kata Prigi.
Menurut dia, pemerintah Indonesia perlu menerapkan parameter mikroplastik dan senyawa pengganggu hormon (EDC) dalam parameter baku mutu kualitas air sungai.
Baca Juga: MA Tolak Kasasi JPU, Tiga Nelayan Pulau Pari Bebas
Salah Urus Pengelolaan Sampah
Pencemaran mikroplastik di sungai merupakan dampak dari kondisi darurat sampah yang dialami Indonesia. Sebagian besar TPA sudah penuh. Masyarakat dipastikan akan menolak kalau daerahnya dijadikan lokasi TPA baru. Penanganan sampah yang saat ini tersentralisasi dengan cara kumpul-angkut-buang ke TPA – tanpa dipilah sejak dari sumber penghasil sampah – terbukti bukan cara yang tepat. Pertama, jarak transportasi sampah yang jauh harus ditempuh untuk mengangkut sampah dari penjuru kota ke satu titik penimbunan sehingga sangat rawan mengalami kecelakaan dan gangguan. Kedua, cakupan pelayanan sampah hanya mampu menjangkau 30-40 persen populasi penduduk yang tinggal di pusat kota.
“Pemerintah harus meningkatkan cakupan layanannya agar semua wilayah perkotaan hingga perdesaan mendapat layanan pengelolaan sampah secara menyeluruh,” papar Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia, Rahyang Nusantara.
Sementara penduduk Indonesia setiap tahun menghasilkan lebih dari 8 juta ton sampah plastik. Namun hanya sekitar 3 juta ton yang mampu dikelola dengan baik. Sisanya, 5 juta ton sampah plastik salah urus karena ditangani dengan cara dibakar dan ditimbun secara open dumping, dibuang ke sungai sebesar 2,6 juta ton, akhirnya bermuara ke lautan sekitar 3,2 juta ton. Tingginya jumlah sampah plastik yang salah urus membuat Indonesia menjadi negara penyumbang sampah plastik di laut terbesar kedua dunia setelah China.
Baca Juga: BNPB Gelar HKB Goes to School
“Buruknya tata kelola sampah tidak terlepas dari budaya kumpul-angkut-buang yang masih berjalan,” imbuh Rahyang.
Akibatnya, sampah yang tidak terpilah itu akan menumpuk di satu tempat. Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya upaya pengurangan sampah dari hulu. Berdasarkan riset BBWSJenna Jambeck pada 2015, penyebab peringkat dua Indonesia sebagai pembuang sampah ke laut karena ‘mismanagement’ dalam tata kelola sampah.
“Jadi jangan sampai ada riset lain yang hasilnya sama. Gubernur harus mencegah dengan memastikan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah kabupaten dan kota berjalan,” imbuh Rahyang.
Discussion about this post