Sabtu, 25 Oktober 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Hari Tani 2025, Ribuan Petani Desak Pemerintah Jalankan Reformasi Agraria Segera

Indeks ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia yang menyebut satu persen kelompok elit di Indonesia menguasai 58 persen tanah, kekayaan alam dan sumber produksi. Sementara 99% penduduk berebut sisanya.

Rabu, 24 September 2025
A A
Aksi Hari Tani Nasional 2025 serukan pelaksanaan reforma agraria, 24 September 2025. Foto KPA.

Aksi Hari Tani Nasional 2025 serukan pelaksanaan reforma agraria, 24 September 2025. Foto KPA.

Share on FacebookShare on Twitter

Wanaloka.com – Ribuan petani datang ke Jakarta menggelar aksi Hari Tani Nasional, Rabu, September 2025. Ribuan petani lainnya berdemonstrasi di berbagai tempat bentuk dukungan terhadap tuntutan reformasi agraria. Mereka menuntut pemerintah menuntaskan 24 masalah struktural agraria dan sembilan langkah perbaikan.

“Petani menyampaikan sembilan tuntutan perbaikan atas 24 masalah struktural (krisis) agraria akibat 65 tahun UUPA 1960 dan agenda reforma agraria yang tidak dijalankan lintas rezim pemerintahan,” kata Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika yang mewakili 139 organisasi petani dan nelayan saat konferensi pers di Jakarta, Minggu, 21 September 2025.

Para petani ini berasal dari Jawa Barat dan Banten, yakni Serikat Petani Pasundan dari lima Kabupaten (Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar dan Pangandaran), Serikat Petani Majalengka, Serikat Pekerja Tani Karawang, Pemersatu Petani Cianjur, Paguyuban Petani Suryakencana Sukabumi, Pergerakan Petani Banten dan Serikat Tani Mandiri Cilacap. Bersama gerakan buruh, mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil lainnya, mereka menuju Gedung DPR RI untuk menuntut perbaikan.

Selain di Jakarta, berbagai lokasi aksi peringatan Hari Tani Nasional 2025 secara serentak digelar di Aceh Utara, Medan, Palembang, Jambi, Bandar Lampung, Semarang, Blitar, Jember, Makassar, Palu, Sikka, Kupang, dan Manado.

Ketua Pergerakan Petani Banten (P2B), Abay Haetami mengatakan para petani Banten ikut serta dalam aksi Hari Tani 2025 karena di wilayahnya banyak terjadi konflik antara petani dan aparat militer. Atas nama ketahanan pangan, aparat mengambil alih tanah rakyat, menghancurkan pohon dan tanaman yang telah bertahun-tahun menjadi tulang punggung ekonomi keluarga dan menggantinya dengan jagung.

Baca juga: Supriyanta, Menciptakan Varietas Padi Unggul agar Petani Bahagia

“Konflik di pesisir Ujung Kulon juga banyak terjadi ketika nelayan tak boleh mendekati pulau untuk berlindung dari cuaca buruk di laut, malah dituduh sebagai pencuri,” ungkap dia.

Sementara, May Putri Evitasari dari Paguyuban Petani Aryo Blitar, generasi petani muda seperti dirinya akan ikut aksi. Sekaligus bentuk dukungan pada perjuangan para orangtua mereka yang menuntut redistribusi lahan pertanian dan penetapan status kepemilikan tanah agar generasi mereka punya pekerjaan.

“Kami di desa sangat kesulitan mengakses pendidikan yang layak. Di sisi lain, tanah orangtua kami tidak ada lagi. Jadi kami terpaksa bekerja ke kota atau keluar negeri jadi tenaga kerja wanita, sesuatu yang sesungguhnya tidak kami inginkan,” kata dia.

Menurut Rangga Wijaya dari Serikat Pekerja Tani Karawang (Sepetak) juga turun aksi karena prihatin banyak lahan di Karawang telah menjadi lahan investasi yang menyingkirkan kaum tani dari tanah sumber kehidupannya.

“Padahal dahulu Karawang dikenal menjadi kota lumbung padi,” ucap Rangga.

Anggota Dewan Nasional KPA, Dhio Dhani Shineba menambahkan di berbagai wilayah organisasi anggota KPA terdapat tren yang sama. Bahwa perlakuan aparat polisi dan militer di lapangan semakin brutal saat menghadapi aksi dan tuntutan petani dan nelayan dalam mempertahankan haknya.

“Sudah 31 tahun KPA melakukan (aksi) ini. Dan kami akan terus melakukannya setiap tahun untuk menagih janji reforma agraria yang berulang kali diabaikan,” tegas Dhio.

Ia juga mengkritisi beberapa Kementerian/Lembaga seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, Kementerian Desa PDTT, dan Kementerian Pertanian yang tidak serius menjalankan reforma agraria. Kementrian-kementerian tersebut dinilai gagal meneerjemahkan reforma agraria pada Nawacita Jokowi. Bahkan berlanjut dalam pemerintahan Prabowo saat ini.

Baca juga: Titi Mangsa Dinilai Tak Relevan, Petani Gunungkidul Belajar Pahami Prediksi Iklim

Gugus tugas reforma agraria gagal

Dewi menambahkan, gelombang protes rakyat yang terjadi secara serentak di Jakarta dan berbagai daerah sejak 25 Agustus 2025 lalu adalah sinyal darurat terhadap rezim pemerintahan. Ini adalah manifestasi dari puncak kemuakan rakyat terhadap kinerja penyelenggara negara yang tidak bekerja untuk kepentingan rakyat.

Dari sektor agraria, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dibentuk selama 10 tahun Pemerintahan Jokowi terbukti gagal menjalankan reforma agraria. Sebab ketimpangan penguasaan tanah semakin parah, petani semakin gurem bahkan kehilangan tanah.

“Gugus tugas ini hanya menghabiskan uang rakyat dari rapat ke rapat, rakyat tetap tak punya kanal penyelesaian konflik agraria,” kata Dewi.

Sementara Kementerian Agraria, Kehutanan, BUMN, Pertanian, Kementerian Desa PDTT dan Kementerian Koperasi, TNI-Polri dan lembaga negara lain masih abai pada masalah kronis agraria.

Dewi mengutip indeks ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia yang menyebut satu persen kelompok elit di Indonesia menguasai 58 persen tanah, kekayaan alam dan sumber produksi, sementara 99% penduduk berebut sisanya.

Akibatnya, selama 10 tahun terakhir (2015-2024), sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 7,4 juta hektar. Dampaknya, 1,8 juta keluarga kehilangan tanah, kehilangan mata pencaharian dan masa depan.

Baca juga: Diseminasi Liputan Kolaborasi Menyelamatkan Hutan Pulau Sipora

Konflik agraria terjadi, bukan saja karena gagalnya pemerintah menjalankan reforma agraria. Namun juga karena proyek-proyek investasi dan bisnis ekstraktif skala besar terus dipaksakan. Padahal kaum tani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan harus dilindungi dan diakui hak konstitusionalnya dengan UU Reforma Agraria.

Proyek Strategis Nasional (PSN), food estate, Badan Otorita Kawasan Strategis Pariwisata Nasional atau Kawasan Ekonomi Khusus, bank tanah dan militerisasi pangan terus meluas ke kampung-kampung dan desa.

“Merampas tanah petani dan wilayah adat, menutup akses ke laut dan wilayah tangkapnya akibat sudah dikapling-kapling para pengusaha,” imbuh dia.

Dewi menegaskan, baik pemerintahan Jokowi maupun Prabowo telah gagal melaksanakan reforma agraria yang telah diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960), sebagai perwujudan Pasal 33 UUD 1945.

“Berkaca ada kegagalan GTRA selama 10 tahun terakhir, kami mendesak Presiden Prabowo segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional yang lebih otoritatif, langsung di bawah kendali Presiden,” tegas Dewi.

Baca juga: Proyek PSN Merauke Dinilai Bentuk Kebijakan Serakahnomics Era Pemerintahan Prabowo

24 masalah strutural agraria

KPA mencatat ada 24 masalah struktural agraria terjadi di pedesaan dan perkotaan yang merupakan masalah nyata. Dalam siaran tertulis tertanggal 24 September 2025, KPA mendesak Pemerintah harus sadar, bahwa sesungguhnya rakyat miskinlah yang setiap hari dijarah dan penjarahan ini tidak pernah berhenti.

Pertama, ketimpangan penguasaan tanah semakin parah.

Indeks ketimpangan penguasaan tanah mencapai 0,58 (BPN, 2022). Artinya, 1% kelompok orang menguasai 58% tanah dan kekayaan agraria nasional, sementara 99% rakyat Indonesia menempati dan memperebutkan sisanya. Bahkan Kementerian ATR/BPN menyatakan ada 60 keluarga pengusaha yang menguasai 26,8 juta hektar tanah.

Menurut KPA, kondisi ini adalah ketimpangan struktural yang tragis dan tengah dihadapi Bangsa Indonesia. Bahkan ketimpangan ini tidak ada satupun ada upaya untuk menyelesaikan.

Kedua, pengusiran warga desa dari tanah garapan, pemukiman dan kampungnya.

Kasus warga desa di Kabupaten Bogor yang tanahnya dilelang atau warga satu desa diusir, karena masuk dalam kawasan hutan dan ditakut-takuti plang-plang Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) seperti di Tebo adalah contoh bagaimana pengusiran rakyat terus terjadi dari tanah garapan dan pemukimannya.

Saat ini, terdapat 25 ribu desa yang tumpang tindih dengan klaim kawasan hutan, bahkan ribuan desa lainnya masuk ke dalam HGU. Situasi ini tidak pernah diselesaikan negara secara tuntas dan adil. Yang membuat rakyat marah, mereka menyelesaikan dengan cara mengusir dan merepresi rakyat.

Baca juga: Menumbuhkan Cinta Lingkungan dalam Peringatan Hari Internasional Perdamaian

Ketiga, peningkatan dan akumulasi konflik agraria.

Dalam 10 tahun terakhir, KPA mencatat sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luasan mencapai 7,4 juta hektar. Korban terdampak konflik agraria ini sebanyak 1,8 juta keluarga. Semuanya disebabkan operasi bisnis perkebunan, kehutanan, tambang, PSN, pertanian skala besar (food estate), kawasan bisnis dan perumahan mewah.

Bahkan dalam tiga bulan pasca pelantikan Presiden Prabowo, terjadi 63 letusan konflik agrarian. Ini bukti nyata cara pembangunan pemerintah yang masih bersandar pada perampasan tanah rakyat atas nama investasi dan korporasi besar yang ‘lapar tanah’.

Dampak negatif lain dari pembiaran konflik agraria adalah hak atas pendidikan, kesehatan, pangan dan layanan dasar lainnya. Sebab para korban konflik terpaksa memutus sekolah anak, mengesampingkan kebutuhan kesehatan, termasuk diskriminasi layanan program pembangunan jika desa tetap diklaim sebagai kawasan hutan atau perkebunan.

Keempat, peningkatan represifitas Polri-TNI.

Baca juga: Populasi Komodo Terancam Punah, Kementerian Kehutanan Menunggu Lampu Hijau Pembangunan Resort dari Unesco

Tugas utama aparat adalah melayani dan melindungi rakyat dan bangsa Indonesia dari ancaman, bahaya dan serangan. Sayangnya, kedua lembaga keamanan digunakan pengusaha dan pemerintah sebagai penjaga bisnis di sektor agraria.

Akibatnya, 2.481 orang dikriminalisasi, 1.054 orang menjadi korban kekerasan, 88 orang tertembak dan 79 orang tewas karena mempertahankan tanahnya. Masalah ini tidak lepas dari pilihan pendekatan legalistik dan represif TNI-Polri di lokasi konflik agraria.

Misalnya, bagaimana TNI-Polri juga preman perusahaan dikerahkan untuk merepresi dan menangani konflik agraria PTPN di Aceh Utara, PT. TPL di Toba-Sumut, PT. WKS di Tebo-Jambi, Bank Tanah di Cianjur-Jabar, PT. Krisrama di Sikka-NTT, PTPN di Takalar-Sulsel, Food Estate di Merauke-Papua Selatan.

Kelima, kementerian/lembaga menjadi pelestari konflik agraria.

Menteri ATR/BPN, Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Kelautan, Menteri BUMN dan Menteri Desa telah menjadi sumber konflik agraria lama maupun konflik agraria baru. Bahkan mereka tidak pernah membahas bagaimana cara menyelesaikan ribuan konflik agraria di perkebunan swasta, BUMN, kehutanan, tambang dan pesisir pulau-pulau kecil, dengan cara yang cepat, tepat, berkeadilan dan terkoordinasi.

Seluruh menteri/kepala badan selalu menghindari tanggungjawab penyelesaian konflik agraria. KPA menduga itu sengaja dilakukan karena mereka sendirilah yang terlibat dan menyebabkan jutaan petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan kehilangan tanahnya, serta enggan menggangu bisnis para pengusaha.

Keenam, janji palsu reforma agraria.

Baca juga: Kisah Kampus yang Kaya Habitat Satwa Liar dan Melestarikan Pohon 106 Tahun

Saat ini memang terdapat Tim Percepatan Reforma Agraria Nasional (TPRAN) dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang diisi menteri-menteri terkait ekonomi, agraria, kehutanan, pertanian dan pemda. Namun mereka tidak menjalankan reforma agrarian. Bukan mengoreksi ketimpangan yang dikerjakan, bukan menyelesaikan kasus-kasus konflik agraria struktural, bukan mendesak penertiban tanah terlantar bagi obyek reforma agraria, bukan mengeluarkan desa-desa dan tanah pertanian serta lumbung pangan dari klaim-klaim kehutanan dan perkebunan, bukan pula mengatasi guremisasi petani.

Wajar, belum ada satu pun surat Keputusan penetapan objek dan subjek reforma agraria yang diterbitkan TPRAN/GTRA.

Ketujuh, tidak ada redistribusi tanah.

Setahun pemerintahan Prabowo, tidak ada redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria struktural. Seperti mengulang pemerintahan Jokowi dengan janji redistribusi tanah seluas 9 juta hektar, namun tidak konsisten dijalankan. Bahkan disesatkan menjadi sertifikasi tanah biasa.

Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) KPA seluas 1,7 juta hektar telah diserahkan kepada Menteri Kehutanan, Menteri ATR/BPN, Menteri Desa, Menteri Koperasi dan Kepala BP Taskin untuk segera diselesaikan dan diredistribusikan kepada rakyat. Meski pemerintah sudah ditolong para petani, LPRA yang diusulkan petani dan masyarakat adat tidak pernah ditetapkan sebagai sasaran pelaksanaan reforma agraria.

Masalah ini harus dihentikan dan Presiden Prabowo harus berani mengambil alih tanah-tanah yang dimonopoli segelintir pengusaha sawit, hutan dan tambang untuk diredistribusikan kepada petani, buruh tani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan.

Kedelapan, petani makin miskin, gurem dan tak bertanah.

Baca juga: Hasil Penelitian AI dan Citra Satelit, Luas Tutupan Lahan Mangrove di Pesisir Semarang Menurun

Dalam 12 tahun terakhir, petani gurem bertambah sebanyak 3 juta orang. Pada 2013, sebanyak 14 juta petani gurem dan 2023 meningkat menjadi 17 juta orang. Artinya, dari keseluruhan petani di Indonesia, 62% di antaranya adalah petani gurem.

Selain guremisasi, masalah lain yang memperparah kemiskinan struktural di pedesaan adalah kesulitan petani mendapatkan pupuk karena diwajibkan memiliki kartu tani, kartu tani pun tidak menjamin pupuk tersedia. Tidak adanya jaminan dan perlindungan harga serta pasar yang adil dan sulitnya permodalan hingga terlilit utang tengkulak/bandar. Diperparah, tidak ada bantuan/inovasi teknologi pertanian.

Di samping itu, kondisi ekonomi buruh tani lebih memprihatinkan. Selain tidak mendapatkan tanah dan sarana pendukung pertanian sebelumnya, upah buruh tani hanya sebesar Rp1,5jt/bulan. Tidak mengherankan petani adalah kelas sosial yang paling sulit membebaskan dirinya dari kemiskinan.

Kesembilan, tidak ada pembatasan penguasaan tanah oleh konglomerat.

Meski UUPA 1960 sudah memerintahkan agar negara melarang dan mencegah monopoli tanah serta membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sayangnya tidak ada satupun Presiden yang berani menjalankannya.

Akibatnya, tanah dan kekayaan agraria Indonesia dikuasai dan dimonopoli para konglomerat. Misalnya, pengusaha sawit sudah menguasai 17 juta hektar tanah, pengusaha tambang 9,1 juta hektar dan pengusaha hutan lebih dari 34,18 juta hektar. Sangat lumrah ditemukan di satu provinsi, tanah dan hutan dikuasai dalam luasan raksasa oleh sebuah perusahaan.

Kesepuluh, penertiban tanah terlantar tidak untuk rakyat.

Baca juga: Dua Pekerja Freeport yang Terjebak Longsor Ditemukan Tewas, Pakar Sampaikan Tantangan Evakuasi

Saat ini terdapat 7,24 juta hektar HGU dan 103 ribu hektar hak guna bangunan (HGB) yang terindikasi terlantar, yang dilakukan badan usaha dan korporasi besar. Pemerintahan Prabowo sempat memiliki niatan menyelesaikan masalah tanah terlantar. Sayangnya, pelaksanaannya justru bertolak belakang dengan arah reforma agraria.

Pemerintah justru memberikan tanah-tanah kepada bank tanah, agrinas, pengusaha sawit, properti, pembalak hutan dan ormas plat merah. Padahal salah satu tujuan aspirasi penertiban tanah terlantar sejak reformasi adalah untuk reforma agrarian. Apalagi banyak tanah terlantar telah ditempati rakyat, menjadi lumbung pangan dan perkampungan berpuluh tahun lamanya.

Sebelas, proyek swasta berlabel Proyek Strategis Nasional (PSN).

Terkait

Page 1 of 2
12Next
Tags: Badan Pelaksana Reforma Agraria NasionalGugus Tugas Reforma AgrariaHari Tani NasionalKonsorsium Pembaruan Agrariareforma agrariaTim Percepatan Reforma Agraria Nasional

Editor

Next Post
Aksi Hari Tani Nasional 2025 mengusung desakan reforma agraria, 24 september 2025. Foto KPA.

Pemerintah dan DPR Rekomendasikan Pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria

Discussion about this post

TERKINI

  • Potret pencemaran plastik di salah satu sungai di Indonesia. Foto dok. Tim Ekspedisi Sungai Nusantara.Penting Tanggung Jawab Industri dan Pemerintah atas Kandungan Mikroplastik dalam Air Hujan
    In News
    Jumat, 24 Oktober 2025
  • Dosen Departemen Geografi Lingkungan UGM, Dr. Emilya Nurjani. Foto kagama.co.Emilya Nurjani, Sampaikanlah Peringatan Dini Cuaca Ekstrem dengan Bahasa Mudah Dipahami
    In Sosok
    Jumat, 24 Oktober 2025
  • Ilustrasi kearifan lokal masyarakat adat Kasepuhan Girijaya di Sukabumi, Jawa Barat. Foto Dok. IPB University.Belajar dari Kearifan Lokal Kasepuhan Girijaya dan Tahura Atasi Perubahan Iklim
    In Rehat
    Kamis, 23 Oktober 2025
  • Ilustrasi Walhi tolak PLTGU Batang. Foto Dok. Walhi.Walhi Tolak Proyek PLTGU Batang, Gunakan Gas Fosil Penyebab Emisi Gas Rumah Kaca
    In Lingkungan
    Kamis, 23 Oktober 2025
  • Ilustrasi biwak yang diperjualbelikan di Indonesia. Foto tomas_a_r_81/pixabay.com.Perdagangan Biawak Diperbolehkan, Tapi Jangan Merusak Ekosistem
    In News
    Rabu, 22 Oktober 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media