Minggu, 26 Oktober 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Hari Tani 2025, Ribuan Petani Desak Pemerintah Jalankan Reformasi Agraria Segera

Indeks ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia yang menyebut satu persen kelompok elit di Indonesia menguasai 58 persen tanah, kekayaan alam dan sumber produksi. Sementara 99% penduduk berebut sisanya.

Rabu, 24 September 2025
A A
Aksi Hari Tani Nasional 2025 serukan pelaksanaan reforma agraria, 24 September 2025. Foto KPA.

Aksi Hari Tani Nasional 2025 serukan pelaksanaan reforma agraria, 24 September 2025. Foto KPA.

Share on FacebookShare on Twitter

Presiden Prabowo terus mewariskan proyek pembangunan yang kental dengan kepentingan swasta, termasuk swasta asing melalui PSN sebagaimana tercantum RPJMN Tahun 2024-2029. Di dalamnya terdapat 22 proyek swasta yang ditetapkan sebagai PSN oleh presiden. Mayoritas adalah industri tambang.

Sejak 2020-2025, percepatan PSN dan KEK telah menyebabkan 154 letusan konflik agraria dengan luas mencapai satu juta hektar. Jika swastanisasi PSN yang tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat ini dipertahankan, maka akan mengulang kejahatan swasta yang dilindungi pemerintah rezim Jokowi.

Dua belas, tanah dimonopoli BUMN kebun dan hutan.

Meski BUMN dikendalikan kepala negara secara langsung, masalah konflik agraria adalah yang tidak pernah dapat diselesaikan. Saat ini, dua BUMN yang memonopoli tanah paling luas adalah PTPN dan Perhutani. PTPN menguasai 1,18 juta hektar tanah, sedangkan Perhutani mengklaim 2,4 juta juta hektar tanah rakyat sebagai kebun kayu miliknya di Jawa.

Baca juga: Sambut Hari Tani, Jampiklim Serukan Penertiban Pertambangan di Wilayah DIY

Dari 318 LPRA yang berkonflik dengan PTPN dan Perhutani, selama 10 tahun Jokowi hingga satu tahun pertama Prabowo, tidak ada satu jengkal pun tanah yang dikembalikan kepada para petani dan masyarakat adat.

Bahkan pada tahun 2024, BUMN telah berkonflik dengan petani di 46 lokasi seluas 14 ribu hektar. Keduanya tidak mengakui konstitusionalitas petani dan masyarakat adat, sehingga selalu memaksakan petani untuk menyewa, menerima skema distribusi manfaat/hak pakai diatas HPL dan izin perhutanan social. Sama saja menempatkan rakyat sebagai orang asing, bukan sebagai pemilik hak atas tanah.

Tiga belas, maraknya korupsi agraria dan sumber daya alam.

Menteri ATR/BPN pada tahun 2021 menyampaikan luas keseluruhan hak guna usaha (HGU) untuk berbagai komoditas hanya 10 juta hektar. Lantas bagaimana bisa pengusaha sawit menguasai tanah hingga 17 juta hektar? Artinya, jutaan hektar kebun sawit pengusaha adalah ilegal yang diperoleh dengan cara-cara deforestasi dan korupsi yang melibatkan Kementerian Kehutanan, pemerintah daerah hingga desa.

Praktik korupsi sektor perkebunan dalam satu dekade menyebabkan terjadi 3.234 konflik agraria seluas 7,4 juta hektar. Jokowi melalui Menteri Kehutanan pada tahun 2022 mencabut 192 izin HPH seluas 3,1 juta hektar. Satu tahun berselang atau pada 2023, kementerian yang sama mengampuni 3,3 juta hektar sawit ilegal dengan alasan terlanjur beroperasi.

Hanya dengan membayar denda administrative, pengusaha sawit dapat melegalkan bisnis gelapnya. Ini adalah bentuk kebijakan paling kotor yang pernah dilakukan pemerintah. Mengingat jutaan hektar tanah tersebut dulunya berasal dari klaim sepihak kehutanan dan perampasan tanah-tanah rakyat, sehingga sudah seharusnya dikembalikan kepada pemiliknya.

Baca juga: Gempa Dangkal M6,5 di Nabire Dipicu Sesar Anjak Weyland

Dampaknya, kebijakan ini justru memperluas konflik dan praktik korupsi agraria, ketimbang menertibkan penguasaan korporasi kehutanan dan sawit.

Empat belas, membentuk banyak lembaga baru untuk mempermudah perampasan tanah.

Alasan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah tidak berlaku demi kemudahan penyediaan tanah bagi pengusaha. Buktinya, kini banyak dibentuk lembaga baru untuk mendukungnya, seperti Bank Tanah, Badan Otorita (Food Estate, IKN, KSPN), Satgas PKH, Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus dan lainnya.

Seluruhnya mengurusi bagaimana kemudahan investasi dan menjamin ketersediaan tanah bagi pengusaha, meski harus dilakukan dengan merampas tanah rakyat. Menyedihkan karena tidak ada satu pun lembaga baru yang dibentuk untuk memulihkan keadilan agraria petani, buruh tani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan.

Lima belas, privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pemerintah telah menjauhkan nelayan dari cita-cita keadilan bahari. Layaknya tanah dan kekayaan alam di darat, laut, pesisir dan pulau kecil pun semakin diprivatisasi pengusaha dan pemerintah. Akibatnya, para nelayan tradisional kerap menjadi korban perampasan tanah demi bisnis tambang, hutan, sawit dan energi. Pembiaran lainnya oleh pemerintah adalah ketimpangan ekonomi antara buruh kapal dengan pemodal, tanpa ada intervensi pemerintah.

Mereka selalu menerima sebagian kecil hasil perikanan ketimbang para pengusaha/pemilik kapal. Di waktu bersamaan 2,4 juta nelayan tradisional dipaksa berebut kuota penangkapan ikan dengan kapal-kapal besar dalam kebijakan perikanan terukur (BPS, 2024).

Enam belas, mempermudah perluasan tambang, korbankan rakyat. Pemerintah marak memberikan izin usaha pertambangan (IUP) dan mendorong ekspansi besar-besaran sektor ekstraktif. Sejak era otonomi daerah dan berlakunya UU Minerba, pengusaha tambang melalui izin usaha pertambangan (IUP) kini menguasai 9,1 juta hektar tanah. Akibatnya, pada tahun 2024 telah mengakibatkan 41 letusan konflik dengan luas 71.101 hektar dengan korban terdampak mencapai 11.153 keluarga. Jika presiden hendak mengembalikan arah politik ekonomi Indonesia kepada Pasal 33 UUD 1945, maka sesegera mungkin menghentikan pemberian IUP tambang baru.

Tujuh belas, sistem pangan militeritik dan liberal.

Baca juga: Masyarakat Sipil Nilai IIGCE 2025 Merampas Ruang Hidup Lewat Proyek Panas Bumi

Jutaan hektar target pembangunan food estate pemerintah bersama kelompok swasta secara tidak langsung ingin mengganti petani sebagai produsen pangan yang utama dengan pengusaha dan kartel pangan. Bahkan TNI-Polri ditarik ke dalam kebijakan di luar tugas pokoknya, sebagaimana terjadi dalam pengembangan food estate dan lokasi ketahanan pangan desa.

TNI-Polri kini menjadi aktor yang mempercepat perampasan tanah dengan alasan menjalankan tugas negara untuk ketahanan pangan. Di desa-desa yang berkonflik dengan PTPN, tentara masuk dengan dalih MoU kerjasama ketahanan pangan dengan PTPN untuk mengusir petani.

Ketika jutaan hektar tanah dan hutan diubah menjadi kebun tebu dan sawit, pemerintah menyalahkan petani karena tidak berproduksi dengan baik. Ini menjadi alasan berikutnya untuk membuka kuota impor pangan dengan alasan demi kecukupan pangan nasional.

Impor pangan kini tidak dapat lagi dicegah masuk ke pasar-pasar tradisional. Misalnya, beras sebanyak 7,26 juta ton, sayuran 5,56 juta ton, buah-buahan 4,24 juta ton, gula 35,70 juta ton bahkan garam yang mencapai 16,18 juta ton (BPN dan Kemendag, 2023). Liberalisasi impor pangan yang dikontrol mafia pangan ini telah melemahkan kedaulatan dan kemandirian pangan, juga menghancurkan pasar pangan lokal.

Delapan belas, ketiadaan jaminan hak atas tanah bagi perempuan, buruh dan pemuda.

Perampasan tanah selalu melahirkan kemiskinan baru. Akibat terusir dari tanahnya, anak-anak petani terpaksa menjadi buruh di kota-kota. Tidak sedikit yang beradu nasib di luar negeri, termasuk perempuan. Catatan pemerintah pada 2024, lebih dari 1,40 juta perempuan menjadi buruh di luar negeri tanpa perlindungan yang memadai.

Reforma agraria harus memastikan ada alokasi tanah untuk diberikan kepada perempuan, buruh bahkan pemuda, termasuk untuk keperluan pembangunan rumah yang layak. Masalahnya, saat ini Sembilan perusahaan properti memiliki cadangan tanah seluas 59 ribu hektar di seluruh Indonesia. Pemenuhan hak atas rumah yang layak akan sulit diwujudkan apabila pemerintah tidak menghentikan monopoli tanah di perkotaan oleh pengusaha properti.

Sembilan belas, ancaman kebebasan berserikat dan berinovasi.

Baca juga: Seruan Aksi Iklim di 35 Kota di Indonesia dan 97 Negara Jelang KTT Iklim Brasil

Melalui Putusan MK 87/PUU-XI/2013, hak untuk berserikat petani telah dijamin secara hukum. Namun di lapangan, organisasi petani yang berbentuk selain Poktan/Gapoktan kerap didiskriminasi untuk memperoleh layanan dasar dan fasilitas pertaniannya, termasuk subsidi pupuk, benih dan teknologi pertanian.

Artinya, petani tidak diberi kebebasan dalam berorganisasi dan berserikat yang sesungguhnya telah dijamin konstitusi. Situasi yang lebih parah lagi dialami para petani dan masyarakat yang kampung dan desanya berkonflik dengan perkebunan dan klaim kehutanan. Status hutan tersebut membuat mereka tidak tersentuh kebijakan. Jangankan mendapatkan infrastruktur pertanian, irigasi, pengairan, subsidi pupuk dan benih, mengambil batang kayu saja dipenjara.

Bahkan di beberapa wilayah Indonesia masih ditemukan ada petani yang dipenjara karena membudidayakan benihnya sendiri yang tidak memiliki izin dari pemerintah.

Dua puluh, bank tanah merampas tanah rakyat.

Alih-alih membubarkan Badan Bank Tanah yang telah menjadi aktor baru perampasan tanah rakyat, Presiden Prabowo justru memperkuat posisi lembaga tersebut dengan memasukkannya sebagai salah satu prioritas Asta Cita. Lebih parah lagi, mengizinkan Bank Tanah menguasai tanah terlantar yang seharusnya dibagikan kepada rakyat.

KPA secara tegas mengritisi dan menolak pembentukan bank tanah yang sudah jelas anti reforma agraria. Melalui Pasal 125 hingga Pasal 135 UU Cipta Kerja, pengaturan sektor pertanahan dirombak secara serampangan untuk mempermudah pengusaha menguasai tanah.

Tahun 2024, KPA mencatat klaim sepihak bank tanah mencapai 33 ribu hektar di 45 kabupaten. Termasuk tanah para petani di Cianjur, Poso, Sigi dan Luwu Utara. Melalui bank tanah, para pengusaha juga menggunakannya untuk sarana memutihkan HGU/HGB terlantar dengan dijadikan hak pengelolaan bank tanah sebelum dikuasai kembali kembali oleh perusahaan.

Dua puluh satu, konversi tanah pertanian tidak terkendali.

Baca juga: Komisi III DPR Desak Penegak Hukum Usut Aktor Besar Tambang Ilegal di Manokwari

Hari ini, laju konversi tanah pertanian pangan semakin cepat tanpa dapat dikendalikan pemerintah. Indonesia telah kehilangan 3,22 juta hektar tanah pertanian pangan. Jika pada tahun 2020 masih ada 10,6 juta hektar sawah tahun 2024, kini hanya tersisa 7,38 juta hektar.

Hal ini dengan mudah dapat diperiksa di lumbung-lumbung pangan nasional yang telah berubah menjadi kawasan industri/ekonomi khusus, perumahan elit dan Proyek Strategis Negara (PSN). Konversi tanah pertanian menjadi non-pertanian melalui pola-pola perampasan tanah atas nama PSN sendiri terjadi di pembangunan PLTU Cilacap, Bendungan Bener di Purworejo dan Wonosobo, New Yogyakarta International Airport (NYIA), Jalan Tol Yogyakarta-Bawen, Yogyakarta-Cilacap, Yogyakarta-Solo dan Bandara Internasional Jawa Barat di Majalengka.

Dua puluh dua, penyelewengan Hak Menguasai Negara dan hak pengelolaan (HPL).

Konstitusi dan UUPA 1960 mengenal hak menguasai dari negara (HMN), ini adalah bentuk lain kewenangan pemerintah untuk mengatur, menyelenggarakan, mengurus peruntukan, penggunaan, penyediaan tanah.

HMN bukan berarti pemerintah adalah pemilik tanah. Namun faktanya, HMN semakin diselewengkan seolah-olah negara adalah pemilik tanah, atau kini menjadi hak pengelolaan (HPL) yang dapat diberikan kepada Pemerintah, BUMN, bank tanah dan perusahaan. Penerapan HPL secara sepihak di banyak daerah telah meresahkan petani dan masyarakat adat. Tata cara pemerintah seperti ini ibarat kembali ke kolonialisme agraria ketika Belanda menerapkan azas domeinverklaring.

Dua puluh tiga, industrialisasi pertanian-perdesaan jalan di tempat.

Saat ini, industrialisasi Indonesia masih berpusat pada hilirisasi mineral dan energi. Namun, orientasi pembangunan tidak hanya diarahkan pada kawasan industri besar atau kota pelabuhan, melainkan juga mulai ditautkan dengan agenda reforma agraria. Untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran Presiden Prabowo seharusnya mendorong industrialiasi pertanian-pedesaan melalui pengembangan kawasan pertanian desa, redistribusi tanah, pembangunan sarana dan teknologi pengolahan produk pertanian.

Dengan pendekatan ini, industrialisasi tidak hanya berfokus pada akumulasi modal skala besar, tetapi juga diarahkan untuk memperkuat kedaulatan pangan, memperluas lapangan kerja non-pertanian di desa, transformasi ekonomi pedesaan yang lebih inklusif dan berkelanjutan sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap investasi asing.

Dua puluh empat, pemborosan APBN/APBD untuk pejabat.

Baca juga: Jangan Diam Melihat Kerusakan Lingkungan agar Dampak Karhutla Tak Meningkat

Berdasarkan alokasi APBN terbaru, uang rakyat yang dialokasikan untuk keperluan gaji, tunjangan, dan fasilitas aparatur negara, kebutuhan kantor, jasa konsultan, serta kebutuhan lainnya mencapai Rp1.038 triliun.

Pemborosan APBN pada pos Belanja Pegawai serta Belanja Barang dan Jasa mencerminkan lemahnya disiplin fiskal dan buruknya prioritas pembangunan negara. Alih-alih mendorong penguatan ekonomi rakyat miskin yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, porsi anggaran yang besar justru terserap untuk gaji, tunjangan, perjalanan dinas, rapat-rapat, pengadaan barang konsumtif, hingga proyek seremonial yang sering kali tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Pola pengaturan APBN semacam ini menimbulkan ketergantungan birokrasi pada pemborosan sebagai sumber rente.

Sembilan tuntutan perbaikan

Sebanyak 24 masalah struktural agraria yang telah mengakibatkan penjarahan tanah dan air rakyat secara sistematis, dalam momentum Hari Tani Nasional 2025 dan 65 tahun kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960), KPA mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan perbaikan menyeluruh di bidang Agraria-Sumber Daya Alam (SDA) melalui sembilan tuntutan perbaikan.

Pertama, Presiden dan DPR segera menjalankan reforma agrarian.

Pekerjaan utama dari reforma agrarian itu meliputi redistribusi tanah kepada rakyat, penyelesaian konflik agraria dan pengembangan ekonomi-sosial rakyat di kawasan produksi mereka sesuai dengan UUPA 1960. Juga mengevaluasi kementerian dan lembaga yang tidak menjalankan, menyesatkan dan menghambat reforma agrarian. Dan DPR segera membentuk Pansus untuk memonitor progress pelaksanaan Reforma Agraria.

Kedua, Presiden segera mempercepat penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah.

Baca juga: Belajar Konsisten Menjaga Hutan dari Masyarakat Adat

Setidaknya pada 1,76 juta hektar Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) Anggota KPA, menertibkan dan mendistribusikan 7,35 juta hektar tanah terlantar serta 26,8 juta hektar tanah yang dimonopoli konglomerat, termasuk tanah masyarakat yang diklaim PTPN, Perhutani/Inhutani, klaim hutan negara pada 25 ribu desa kepada petani, buruh tani, nelayan, perempuan, serta pemulihan hak masyarakat adat. Selanjutnya Pemerintah harus menetapkan batas maksimum penguasaan tanah oleh badan usaha swasta.

Ketiga, Presiden segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria yang bertanggung-jawab langsung kepada Presiden demi mewujudkan mandat Pasal 33 UUD 1945, TAP MPR IX/2001 tentang PA-PSDA dan UUPA 1960.

Keempat, DPR dan Presiden bersama-sama gerakan masyarakat sipil segera menyusun dan mengesahkan RUU Reforma Agraria sebagai panduan nasional pelaksanaan reforma agraria, mencabut UU Cipta Kerja yang melegalkan perampasan tanah dan liberalisasi pangan dan  mengembalikan arah ekonomi-politik-hukum agraria nasional kepada mandat Pasal 33 UUD 1945.

Kelima, Presiden segera memenuhi hak atas perumahan yang layak bagi petani, nelayan, buruh dan masyarakat miskin kota sekaligus menjamin pemenuhan hak atas tanah bagi Perempuan.

Keenam, Presiden segera memerintahkan Polri-TNI untuk menghentikan represifitas di wilayah konflik agraria, membebaskan petani, masyarakat adat, perempuan, aktivis dan mahasiswa yang dikriminalisasi. Sekaligus menarik TNI-Polri dalam program pangan nasional, dan mengembalikan pembangunan pertanian-pangan-peternakan-pertambakan kepada petani, nelayan dan masyarakat adat.

Ketujuh, Presiden segera membekukan bank tanah, menghentikan penerbitan izin dan hak konsesi (moratorium) perkebunan, kehutanan, tambang (HGU, HPL, HGB, HTI, ijin lokasi, IUP), proses pengadaan tanah bagi PSN, KEK, Bank Tanah, Food Estate, KSPN dan IKN yang menyebabkan ribuan konflik agraria, penggusuran dan kerusakan alam.

Baca juga: Tumpukan Sampah dan Krisis Tutupan Hutan Perparah Banjir di Bali

Selanjutnya, konsesi dan proyek pengadaan tanah yang tumpang tindih dengan tanah rakyat segera dikembalikan dalam kerangka Reforma Agraria.

Kedelapan, Presiden dan DPR RI memprioritaskan APBN/APBD untuk redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria, pembangunan infrastruktur, teknologi, permodalan pertanian, subsidi pupuk, subsidi solar, benih dan Badan Usaha Milik Petani-Nelayan-Masyarakat Adat dalam rangka Reforma Agraria dan pembangunan pedesaan.

Kesembilan, Presiden harus mendukung dan membangun industrialisasi pertanian-perkebunan-perikanan-peternakan-pertambakan yang dimiliki secara gotong-royong oleh petani dan nelayan dalam Model Ekonomi Kerakyatan Berbasis Reform Agraria demi mempercepat pengentasan kemiskinan, kedaulatan pangan dan terjadinya transformasi sosial di pedesaan.

“Kami akan terus awasi dan tagih pelaksanaannya kepada DPR serta Presiden RI sebagai pengembalian kontrol rakyat terhadap kinerja DPR, Presiden beserta Kabinet Merah Putih agar sungguh-sungguh menjalankan mandat konstitusi. Bekerja untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran rakyat,” tegas Dewi. [WLC02]

Terkait

Page 2 of 2
Prev12
Tags: Badan Pelaksana Reforma Agraria NasionalGugus Tugas Reforma AgrariaHari Tani NasionalKonsorsium Pembaruan Agrariareforma agrariaTim Percepatan Reforma Agraria Nasional

Editor

Next Post
Aksi Hari Tani Nasional 2025 mengusung desakan reforma agraria, 24 september 2025. Foto KPA.

Pemerintah dan DPR Rekomendasikan Pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria

Discussion about this post

TERKINI

  • Potret pencemaran plastik di salah satu sungai di Indonesia. Foto dok. Tim Ekspedisi Sungai Nusantara.Penting Tanggung Jawab Industri dan Pemerintah atas Kandungan Mikroplastik dalam Air Hujan
    In News
    Jumat, 24 Oktober 2025
  • Dosen Departemen Geografi Lingkungan UGM, Dr. Emilya Nurjani. Foto kagama.co.Emilya Nurjani, Sampaikanlah Peringatan Dini Cuaca Ekstrem dengan Bahasa Mudah Dipahami
    In Sosok
    Jumat, 24 Oktober 2025
  • Ilustrasi kearifan lokal masyarakat adat Kasepuhan Girijaya di Sukabumi, Jawa Barat. Foto Dok. IPB University.Belajar dari Kearifan Lokal Kasepuhan Girijaya dan Tahura Atasi Perubahan Iklim
    In Rehat
    Kamis, 23 Oktober 2025
  • Ilustrasi Walhi tolak PLTGU Batang. Foto Dok. Walhi.Walhi Tolak Proyek PLTGU Batang, Gunakan Gas Fosil Penyebab Emisi Gas Rumah Kaca
    In Lingkungan
    Kamis, 23 Oktober 2025
  • Ilustrasi biwak yang diperjualbelikan di Indonesia. Foto tomas_a_r_81/pixabay.com.Perdagangan Biawak Diperbolehkan, Tapi Jangan Merusak Ekosistem
    In News
    Rabu, 22 Oktober 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media