Ada beberapa hal pokok dan penting yang perlu dilakukan. Pertama, para gubernur diminta untuk menyelenggarakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam kewenangan wilayah kerja pemerintah provinsi serta menyelenggarakan nilai ekonomi karbon dalam kewenangan wilayah kerjanya.
Kedua, para gubernur harus melaksanakan inventarisasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam kewenangan wilayah kerja pemerintah provinsi dengan tata waktu yang berlaku. Para gubernur perlu mendorong usaha dan atau kegiatan untuk melakukan Pendaftaran Sistem Registri Nasional (SRN) dalam kewenangan wilayah kerjanya.
Baca Juga: MA Tolak Kasasi JPU, Tiga Nelayan Pulau Pari Bebas
Ketiga, para gubernur diinstruksikan untuk melakukan pembinaan kepada pemerintah kabupaten atau kota dan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan Inventarisasi Emisi GRK untuk pencapaian NDC dan Pengendalian Emisi GRK.
Keempat, para gubernur bertanggungjawab dalam mengkoordinasikan langkah dan upaya yang relevan untuk pemerintah kabupaten dan kota serta pelaporannya. Hasil-hasil dari proses tersebut agar dilaporkan kepada Menteri LHK cq. Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim selaku National Focal Point Indonesia untuk UNFCCC, sesuai ketentuan peraturan perundangan.
Adapun yang melatarbelakangi surat tersebut adalah telah diundangkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Pembangunan Nasional.
Agenda Nasional Perubahan Iklim
Hal-hal penting terkait situasi terkini dalam agenda nasional perubahan iklim pada konteks global juga perlu diketahui oleh para gubernur.
Pertama, Konferensi Perubahan Iklim Glasgow (COP 26) pada tanggal 31 Oktober – 12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia, telah menghasilkan materi utama yang tertuang dalam Dokumen Glasgow Climate Pact (GCP). Dokumen tersebut menegaskan rencana untuk meningkatkan ambisi menjaga kenaikan suhu global tidak melebihi 1,5 derajat Celsius, mengurangi laju deforestasi, tentang penggunaan batu bara, serta target pengurangan emisi metana. Kesepakatan Glasgow juga mendesak pengurangan emisi serta penggunaan energi terbarukan dan menjanjikan lebih banyak bantuan pendanaan bagi negara-negara berkembang.
Dokumen GCP mencakup delapan elemen, yaitu sains dan urgensi, adaptasi, pendanaan adaptasi, mitigasi, pembiayaan, transfer of knowledge, dan capacity building, bantuan terhadap negara-negara berkembang terkait loss and damage, implementasi, serta kolaborasi.
Kedua, komitmen Indonesia dalam aksi global perubahan iklim direfleksikan dalam dokumen nasional, yaitu Updated Nationally Determined Contribution (NDC) dan Long-term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) yang telah disampaikan kepada UNFCCC pada Juli 2021.
Baca Juga: 2 Tahun Terakhir Tren Kasus Karhutla di 6 Provinsi Ini Turun
Dokumen NDC memuat target komitmen Indonesia dalam penurunan emisi GRK dan peningkatan ketahanan iklim. Sedangkan dokumen LTS-LCCR memuat visi dan formulasi kebijakan pengendalian perubahan iklim untuk jangka panjang. Selain dokumen tersebut, dalam implementasi kebijakan perubahan iklim dan untuk memberikan arahan bagi upaya pencapaian target NDC. Juga disusun Dokumen Roadmap NDC Mitigasi dan Roadmap NDC Adaptasi.

Dokumen mencakup pula arahan kerja pada konteks wilayah untuk upaya pengendalian perubahan iklim, mengatasi dampak iklim, juga dalam memetik manfaat ekonomi atas upaya mitigasi iklim. Upaya dan langkah pemerintah daerah merupakan satu kesatuan dalam prinsip, orientasi, pijakan operasional, dan sasaran untuk pemenuhan NDC Indonesia sebagai negara pihak sesuai UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai perubahan iklim).
Selanjutnya, untuk penguatan dan peningkatan intensitas implementasi pengendalian perubahan iklim yang melibatkan semua unsur serta untuk mendorong dan menata pemanfaatan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), pemerintah telah mengundangkan Perpres 98 Tahun 2021. Perpres ini menjadi dasar dan arah bagi penyelenggaraan NDC dan NEK. Juga memperkuat transparansi, pemantauan dan evaluasi, serta sinergi dengan pemerintah daerah dalam penguatan pembinaan dan dukungan pendanaan dalam pencapaian target NDC Indonesia.
Baca Juga: Walhi: Krisis Iklim dan Penangkapan Ikan Terukur Sebabkan Jumlah Nelayan Turun
Sebagai tindak lanjut implementasi Perpres 98 Tahun 2021, saat ini sedang disusun peraturan turunan dalam bentuk dua Rancangan Peraturan Menteri LHK tentang implementasi NDC serta Implementasi NEK. Salah satu sistem yang menjadi tulang punggung sistem satu data pencapaian NDC dan penyelenggaraan NEK yang transparan, berintegritas, inklusif, dan adil, adalah Sistem Registri Nasional (SRN).
SRN merupakan sistem pengelolaan, penyediaan data dan informasi berbasis web tentang aksi dan sumber daya untuk Mitigasi Perubahan Iklim, Adaptasi Perubahan Iklim, dan NEK di Indonesia. SRN telah dirintis sejak 2016 untuk registrasi semua kegiatan dalam rangka penurunan emisi GRK. Pencatatan atau registrasi pada SRN sangat penting sebagai instrumen pengendalian, kapasitas upaya dan perekaman hasilnya, sesuai UU Nomor 16 Tahun 2016 dan Perpres 98 Tahun 2021. [WLC02]
Discussion about this post