Wanaloka.com – Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebanyak 359 (54 persen) dari 732 anggota DPR Periode 2024-2029 merupakan petahana. Sementara menurut Ketua DPR Puan Maharani dalam rapat Paripurna Terakhir DPR 2019-2024 pada 30 September 2024 menyebutkan, DPR periode lalu telah menyelesaikan pembahasan 225 Rancangan Undang-Undang (RUU) bersama pemerintah.
Namun KPA mengingatkan kinerja DPR 2019-2024 perlu dikritisi. Terkait sejauh mana UU dan hukum yang telah dibahas dan disahkan tersebut mewakili kepentingan rakyat banyak, terutama kelompok-kelompok marjinal seperti kaum tani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan masyarakat pedesaan lainnya.
Dan hasilnya, KPA menilai kinerja DPR RI 2019-2024 memiliki berbagai catatan negatif di bidang agraria yang mestinya menjadi catatan bagi anggota parlemen ke depan, terutama membenahi permasalahan agraria. Beberapa catatan KPA atas kinerja DPR sebelumnya dalam siaran tertulis tanggal 2 Oktober 2024 meliputi:
Baca Juga: Tolak Proyek Geothermal di Poco Leok, Warga dan Jurnalis Floresa Ditangkap
Pertama, tidak ada evaluasi mendasar dari DPR terhadap pelaksanaan agenda reforma agraria selama lima tahun terakhir terhadap Presiden Joko Widodo. Akibatnya, implementasi reforma agraria jalan di tempat. Bahkan pelaksanaanya dimanipulasi sebatas bagi-bagi sertifikat dan menciptakan liberalisasi agraria melalui pasar tanah.
Berdasarkan Catatan KPA selama 2015-2023, Jokowi melalui Menteri ATR/BPN RI hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 77 ribu hektare dari 7,24 juta hektare tanah yang terindikasi terlantar (ATR/BPN, 2023).
Kedua, tidak ada dialog partisipatif dan bermakna yang dilakukan DPR bersama perwakilan petani, rakyat dan organisasi masyarakat sipil untuk mengurai dan membenahi masalah konflik agraria yang terus meningkat di berbagai wilayah dari waktu ke waktu.
Baca Juga: AMAN Desak DPR Baru Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat
Hasilnya, konflik agraria lima tahun terakhir terus menumpuk. Dalam satu dekade Pemerintahan Jokowi menjadi era tertinggi konflik agraria dengan 2.939 kasus (2015-2023).
Ketiga, DPR bersama Pemerintah justru menjadi motor utama lahirnya UU Cipta Kerja (UUCK) yang telah mengamputasi puluhan kebijakan pro rakyat di bidang agraria dan mengkhianati Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Alih-alih melahirkan produk legislasi yang memenuhi harapan kaum tani dan gerakan reforma agraria.
Keempat, DPR gagal menjalankan fungsinya sebagai pengawas dan pengontrol jalannya pemerintahan. Berbagai kebijakan investasi dan pembangunan yang mengarah pada praktik-praktik perampasan tanah berjalan tanpa peringatan keras dari wakil rakyat di parlemen.
Baca Juga: KLHK Klaim Taman Nasional Mutis Timau Bukan Penurunan Status Kawasan Hutan
Sebut saja pembentukan Lembaga Bank Tanah, percepatan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), Pengampunan Keterlanjuran Bisnis Ilegal Kehutanan, Tambang dan Sawit. Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), Food Estate, impor pangan, HPL, HGU 190 tahun dan HGB 180 tahun di IKN, Perhutanan Sosial (PS) dan kebijakan Distribusi manfaat (Perkebunan Sosial) di wilayah-wilayah konflik akibat klaim PTPN dan suburnya praktik korupsi agraria-mafia tanah yang semakin meminggirkan kehidupan kaum tani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan lainya.
Discussion about this post