Wanaloka.com – Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) telah menghasilkan peta 356 prospek tambang panas-bumi di jalur Cincin Api Indonesia. Sebanyak 64 di antaranya sedang dalam proses penambangan. Padahal upaya pemerintah Indonesia terus menggenjot pengembangan sumber energi dari panas bumi justru menjadi petaka bagi warga dan lingkungan. Sebab rentan terhadap risiko kebencanaan.
“Seluruh pengembangan tambang panas bumi, selain tak melibatkan warga dalam seluruh proses penyusunan kebijakannya, juga terbukti berkali-kali menjadi “ladang kematian” bagi warga setempat maupun pekerja tambang panas bumi,” kata Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Alfarhat dalam siaran pers Jatam tertanggal 17 Juli 2024.
Artinya, pertambangan panas bumi untuk pembangkitan listrik bagi manusia dan lingkungan di lingkaran wilayah pengaruh eksplorasi dan operasi proyek tambang panas-bumi tidaklah aman. Jatam mengingatkan, bahwa penambangan dan ekstraksi panas-bumi untuk menghasilkan daya listrik telah puluhan kali terbukti menyebabkan gempa picuan. Bukan di tingkat yang bisa diabaikan bahayanya, melainkan justru sampai skala kegempaan di atas.
Baca Juga: Longsor Tewaskan Tujuh Warga Mimika, Akses Freeport ke Kampung Terputus
Di Indonesia, Jatam telah mengingatkan lewat laporan hasil riset dan respons cepat atas kejadian gempa untuk mempertanyakan kaitan di antara kejadian gempa di wilayah di sekitar proyek tambang panas-bumi kepada otoritas kegempaan dan Kementerian ESDM. Sayangnya, menurut Alfarhat, lembaga-lembaga yang seharusnya bertanggung-jawab tersebut tidak sekalipun menjawab, apalagi melakukan penyelidikan sungguh-sungguh tentang risiko bahaya gempa. Kemudian memproduksi laporan-laporan berkala sebagaimana layaknya tanggung-jawab regulator industri di hadapan konstitusi dan hukum yang berlaku.
Di Sorik Marapi, Mandailing Natal misalnya, selain mengancam sumber air, lahan persawahan, dan pemukiman penduduk, operasi PT SMGP telah menewaskan tujuh orang. Sementara ratusan lainnya terpapar gas beracun H2S.
Kemudian di Dieng, Wonosobo, operasi PT GeoDipa telah menewaskan dua orang. Puluhan lainnya keracunan gas H2S akibat kebocoran berulang. Sama sekali tidak ada pemindaian dan pemeriksaan seksama dari pihak Kementerian ESDM sebagai regulator industri panas-bumi, tentang akibat jangka panjang pada kesehatan manusia dari emisi gas-gas beracun termasuk H2S pada skala rendah. Sumber air, tanaman menahun seperti kemiri, kakao, durian, juga hortikultura termasuk buah-buahan dan sayur-sayuran, basis utama perekonomian warga, rusak daya reproduksinya.
Baca Juga: Kepala BNPB Minta Tanggap Darurat Bencana Gorontalo Tak Terlalu Lama
Di Mataloko, Flores, operasi PT PLN Geothermal memicu tenggelamnya lahan persawahan, mencemari air, munculnya penyakit kulit, dan amblesan tanah di sekitar pemukiman penduduk.
Petaka serupa juga terjadi di banyak tempat. Namun resistensi warga lokal terhadap proyek tambang panas bumi justru dijawab dengan intimidasi dan pengerahan kekerasan negara-korporasi. Proteksi habis-habisan terhadap investor dan operator tambang panas-bumi untuk pembangkitan listrik menempuh segala cara untuk menakut-nakuti warga negara yang hidup di wilayah yang diduduki proyek tambang panas bumi.
Termasuk kekerasan fisik, intimidasi, pelecehan, hingga kriminalisasi yang dialami warga Gunung Talang, Poco Leok, Sokoria, Mataloko, dan Wae Sano, Flores dan Dieng, Wonosobo, Padarincang, Banten, serta sejumlah daerah lainnya di Indonesia. Bahkan, tak jarang, warga lokal justru terpaksa mengungsi dari kampung-ruang hidupnya, sebagai terjadi di Desa Wapsalit, Pulau Buru, Maluku akibat pengeboran panas bumi oleh PT Ormat Geothermal.
Baca Juga: Taryono, Perlu Pemuliaan Tanaman Lebih Cepat dengan Siklus Pendek
Ironisnya, persekongkolan jahat dan kekerasan negara-korporasi itu, alih-alih dihentikan, justru terus digunakan untuk mempercepat pengembangan panas bumi di Indonesia. Di Gunung Gede Pangrango, pemerintah dan PT Daya Mas Geopatra (anak usaha Sinar Mas) terus memaksa masuk, membuat konflik sosial antar warga, serta menggunakan tangan aparat negara untuk menakut-nakuti warga.
Hal serupa terjadi di Padarincang, Banten. PT Sintesa Banten Geothermal (Sintesa Group) menggunakan aparat kepolisian dan TNI untuk membuka akses masuk ke lokasi pengeboran panas bumi.
Padahal, perlawanan warga di Gunung Gede Pangrango dan Padarincang, serta seluruh wilayah di atas, hanya untuk memastikan terjaganya keutuhan air kehidupan dan menjamin keberlanjutan hutan, tanah-tani dan kehidupan mereka sendiri.
Baca Juga: Investor IKN Dapat HGU 190 Tahun, Masyarakat Adat Kian Terasing di Tanahnya
Namun, pemerintah sepenuhnya abai. Industri tambang panas bumi pembangkit listrik seringkali mengandalkan kekerasan terorganisir untuk memaksa rakyat menerima kehadiran proyek.
“Ini mengkonfirmasi bahwa “geruduk panas-bumi” yang sedang berkecamuk di kepulauan adalah investasi paksa,” tukas Alfarhat.
Jaminan Hukum dan Insentif
Investasi paksa tambang panas bumi di Indonesia, sesungguhnya tidak hanya sekadar mengandalkan kekerasan. Pemerintah, dengan seluruh kewenangannya, justru telah memberikan jaminan hukum dan segundang insentif untuk korporasi di satu sisi, dan melenyapkan hak veto serta membuka ruang kriminalisasi bagi warga di sisi lain.
Baca Juga: Status Gunung Semeru Jadi Waspada, Hati-hati Lontaran Batu Pijar
Melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas-Bumi, pemerintah mengeluarkan industri tambang panas bumi dari kategori industri tambang.
“Siasat licik ini bertujuan agar dua-pertiga sasaran tambang panas bumi di kawasan hutan bisa dijadikan lahan investasi industri,” tukas Alfarhat.
Pemerintah juga memberikan insentif fiskal berupa tax allowance yang mencakup kegiatan eksploitasi dan eksplorasi. Insentif tax allowance ini antara lain melalui pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari nilai investasi di dalam bentuk investment allowance. Penyusutan waktu pengembangan panas bumi yang sebelumnya membutuhkan 10 tahun dipercepat menjadi 5 tahun. Sehingga besaran yang bisa dikreditkan lebih besar.
Baca Juga: Catatan Kritis Walhi atas Pengalihan Utang untuk Konservasi Terumbu Karang
Discussion about this post