Penyesuaian ini mencakup ventilasi alami, pemanfaatan cahaya matahari, dan perencanaan ruang multifungsi yang bisa digunakan untuk kegiatan sosial seperti edukasi, pelatihan, hingga pengolahan limbah organik.
Baca juga: Forest Bathing, Terapi Redakan Stres Ringan hingga Sedang
Praktik nyata ekoteologi akar rumput
Natsuki mempresentasikan hasil risetnya tentang etika dan praktik aksi lingkungan Islam di Indonesia kontemporer. Kandidat doktor dari Universitas Kyoto ini mengangkat studi kasus Masjid Muharram di Bantul, Yogyakarta yang menjalankan praktik sedekah sampah atau pengumpulan sampah rumah tangga yang masih bisa didaur ulang. Tujuannya untuk dijual dan hasilnya disumbangkan kembali kepada masyarakat.
Natsuki menekankan pendekatannya bersifat antropologis. Dengan menggali bagaimana praktik-praktik keislaman terkait lingkungan dijalankan secara langsung oleh masyarakat.
“Ketika saya meneliti hubungan Islam dan lingkungan di Indonesia, saya melihat ada kekuatan sosial dan spiritual yang menggerakkan masyarakat. Bukan hanya karena fatwa, tapi karena nilai gotong royong, sedekah, dan harapan akan pahala dari Tuhan,” jelas dia.
Baca juga: Peran Kebun Raya Mangrove Surabaya dari Konservasi hingga Ketahanan Pangan
Meskipun sebagian besar pelaku sedekah sampah tidak mengingat isi ceramah atau fatwa secara detail, mereka tetap terdorong untuk ikut serta karena alasan spiritual dan sosial. Beberapa mengaku termotivasi karena ingin memberi manfaat untuk masyarakat, menjaga kebersihan desa, hingga menciptakan koneksi sosial yang lebih kuat antarwarga.
Inisiatif seperti ini, menunjukkan praktik ekoteologi tidak melulu hadir dari teori tinggi. Tetapi hadir dari pengalaman spiritual sehari-hari umat Islam yang menggabungkan tindakan ekologis dengan nilai-nilai ibadah dan solidaritas sosial.
Integrasi ilmu, arsitektur, dan spiritualitas
Keduanya sepakat masjid perlu dilihat kembali fungsinya sebagai ruang hidup umat, bukan semata tempat ibadah. Masjid seharusnya menjadi pusat pendidikan, kesejahteraan sosial, dan pelestarian lingkungan.
Baca juga: Menjaga Mangrove Lewat Stop Buang Sampah, Terbitkan Regulasi dan Gandeng Kampus
Kegiatan ini memperlihatkan pendekatan integratif antara ilmu pengetahuan, arsitektur, dan teologi bisa menjadi fondasi penting dalam merancang masa depan masjid yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Selain itu, kegiatan ini juga menjadi ajang penguatan jejaring riset internasional BRIN sekaligus membuka peluang sinergi antara lembaga riset, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk mendorong gerakan masjid ramah lingkungan di Indonesia.
“Topik ini sangat relevan dengan arah kebijakan riset BRIN ke depan. Kami berharap hasil diskusi hari ini bisa ditindaklanjuti dalam bentuk kerja sama, pelatihan, dan desain program riset masjid yang lebih aplikatif,” pungkas Aji. [WLC02]
Sumber: BRIN







Discussion about this post