Cara itu salah satu upayanya membangun suasana kekeluargaan dan paseduluran dengan jaringan. Bahkan Widodo turut menggerakkan warga pesisir pantai untuk menyumbangkan hasil buminya bagi jejaring yang membuka dapur umum ketika awal pandemi Covid-19 pada 2020 lalu. Warga menyuplai kebutuhan aneka sayuran dan buah yang mereka tanam di lahan pasir.
Tanpa disadari, upaya itu juga bagian dari perlawanan warga pesisir. Bahwa di tengah negara kelimpungan menghadapi pagebluk, perekonomian ‘dirumahkan’ untuk menghindari kerumunan, ternyata kiprah petanilah yang masih mampu bertahan. Bahkan hasil taninya mampu memberi penghidupan masyarakat yang lain.
Baca Juga: Selamat Jalan Hilman “Lupus” Hariwijaya…
Yogyakarta “Tak Istimewa” karena Petani Disingkirkan
Konsistensi perjuangan Widodo bertahun-tahun itu pun melekat di hati Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Ahmad Nashih Luthfi. Bahwa Widodo memiliki energi luar biasa dalam memperjuangkan hak atas tanah dan ruang hidup, khususnya lahan pertanian yang telah memberikan kemakmuran pada masyarakat.
“Dia sendiri petani. Punya pijakan yang kuat dalam arti gerakan sosial,” kata Luthfi saat dihubungi Wanaloka.com.
Sebagai petani, dia terus memikirkan bagaimana tanah diolah, tanaman ditumbuhkan, dan membuahkan hasil yang baik, hingga memiliki harga jual tinggi dan tidak dipermainkan oleh tengkulak. Bersama warga dan organisasi petani, warga Kulon Progo memperjuangkannya dan melawan rezim kapital dan kekuasaan yang akan merampas lahan pertanian itu untuk kepentingan elit melalui penambangan pasir besi.
Baca Juga: YLBHI: Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik Agraria dan Lingkungan Belum Dianggap Krusial
“Perjuangan itu yang menyadarkan saya pada 2008-2009 untuk melihat wacana keistimewaan Yogyakarta dengan cara yang lain,” imbuh Luthfi.
Berbeda lazimnya orang, termasuk akademisi yang mengglorifikasi Yogyakarta dengan berbagai cara, Widodo menunjukkan Yogyakarta menjadi “tidak istimewa” karena penguasa dan pemerintah malah menyingkirkan nasib petani.
“Dengan kata lain, jika Yogyakarta ingin istimewa, maka predikat itu bukan diperoleh dengan mengawetkan klaim-klaim sejarah sebagai kata sifat yang dilekatkan pada elitnya. Namun keistimewaan adalah kata kerja. Tindakan keistimewaan yang melindungi dan memakmurkan rakyatnya,” papar Luthfi.
Merawat Semangat Perlawanan

Dan Maret ini hampir setahun lalu, tepatnya 31 Maret 2021 malam, saat warga dan petani PPLP-KP meriung di halaman rumah salah satu warga di pesisir selatan, Marwoto. PPLP-KP tengah melangsungkan syukuran memperingati 15 tahun perjuangan PPLP-KP melawan penambangan pasir besi di sana yang mengancam hilangnya ruang penghidupan mereka.
Acara sederhana itu berjalan khidmat yang diawali dengan wiridan, dihadiri tokoh masyarakat serta jaringan PPLP-KP dari sejumlah daerah.
Dan seperti biasa, Widodo sang orator, malam itu lantang mengingatkan, bahwa tanah pesisir selatan Kulon Progo tidaklah gersang.
“Mereka anggap tanah pesisir gersang. Sampai hari ini dan sampai kapan pun mereka rampas tanah kita, yang kita lakukan adalah perlawanan. Kita memperingati perjuangan kita, untuk memperingati organisasi kita. Dan saya yakin, bahwa masyarakat pesisir sampai kapan pun akan tetap menolak adanya penambangan pasir besi. Semangat kawan-kawan,” seru Widodo.
Baca Juga: Komnas HAM: Benar, Ada Penggunaan Kekuatan Berlebihan dalam Pengukuran Lahan di Desa Wadas
Puncak peringatan ke-15 tahun PPLP-KP digelar keesokan harinya, Kamis, 1 April 2021. Ratusan spanduk bernada lantang, menolak tambang pasir besi ditebar PPLP-KP di sepanjang Jalan Daendels, jalur jalan lintas pantai selatan Kulon Progo.
Kepada awak media yang meliput kegiatan PPLP-KP saat itu, Widodo mengungkapkan, kegiatan mereka gelar untuk menunjukkan kepada para pihak bahwa mereka tetap tinggal di sana dan selamanya bertani.
“Intinya hari ini kita menunjukkan pada semua orang, pada semua institusi, yang hari ini mau menggebuk kita, mengusir kita, bahwa selamanya kita tetap tinggal di sini, selamanya kita tetap bertani, dan selamanya kita tetap akan menghidupi. Jadi, apapun yang akan mengganggu ruang hidup kami, kami akan tetap lawan, dan bentuknya adalah misalnya, seperti hari ini (pemasangan spanduk),” ucap Widodo.
Selamat jalan petani lahan pantai, teruslah menanam di peristirahatan terakhir… [TIM]
Discussion about this post