Wanaloka.com – Hilirisasi dan proyek strategis nasional (PSN) telah memperburuk ketidakadilan gender, mulai dari hilangnya akses lahan yang memiskinkan perempuan dan memperbesar beban kerja, hingga krisis kesehatan akibat polusi industri yang meningkatkan penyakit pada ibu, bayi, dan anak serta menambah kerja reproduktif perempuan.
Data deforestasi 2024 menunjukkan kerusakan signifikan, dengan catatan deforestasi netto 175,4 ribu hektare dari Kementerian Kehutanan dan 261.575 hektare dari Simontini, Kaoem Telapak mencatat hilangnya sekitar 3 juta hektare hutan akibat ekspansi sawit dalam dua dekade terakhir.
Meski tren 10 tahun menunjukkan penurunan, lonjakan dalam beberapa tahun terakhir menegaskan bahwa proyek-proyek ekstraktif tetap menjadi pendorong utama hilangnya hutan dan meningkatnya kerentanan ekologis.
Perluasan perkebunan sawit, pertambangan nikel untuk industri baterai listrik, proyek food estate raksasa seperti di Merauke seluas 2,29 juta hektare, serta berbagai PSN yang mengabaikan daya dukung ekologis telah menyebabkan kerusakan serius pada tanah, hutan, sungai, dan kehidupan sosial masyarakat.
Baca juga: 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Industri Ekstraktif Merusak Hidup dan Tubuh Perempuan
Masuknya pekerja laki-laki dalam jumlah besar juga memicu risiko sosial seperti kekerasan berbasis gender, pelecehan, pernikahan anak, dan perdagangan manusia, sementara perempuan disabilitas dan ragam gender semakin terpinggirkan karena proses konsultasi publik yang tidak inklusif.
Juru Kampanye Kaoem Telapak, Ziadatunnisa menyebutkan bahwa Kaoem Telapak melakukan riset tentang kebun-kebun sawit di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Menurut Zia, ekspansi dari industri ekstraktivisme ini memunculkan banyaknya pelanggaran HAM terhadap masyarakat yang terdampak, terutama Masyarakat Adat yang kerap menjadi korban.
“Salah satu poin penting yang kami awasi adalah perizinan, karena seringkali operasi sawit itu berjalan tanpa adanya izin seperti di Riau. Akibat dari rusaknya alam dari ekspansi sawit, berimbas pada perempuan-perempuan adat. Mereka mulai kesulitan melakukan tradisi-tradisi seperti ritual dan upacara adat, sehingga pengetahuan lokal ini terancam hilang. Belum lagi akses sumber daya alam (SDA) yang kian lenyap akibat polusi dari industri sawit atau bahkan SDA tersebut tidak ada lagi,” kata Zia dalam siaran pers Kaoem Telapak, Jumat, 12 Desember 2025.
Di sisi lain, kekerasan berbasis gender terus meningkat. Sinergi data Kementerian PPPA, Komnas Perempuan mencatat 35.533 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2024, meningkat 2,4 persen dari tahun sebelumnya, dan 290 kasus femisida, menunjukkan pola kekerasan ekstrem yang berulang dan semakin brutal. Namun statistik ini belum mencatat kekerasan ekologis yang dialami perempuan akibat perampasan tanah dan kerusakan lingkungan.
Baca juga: Membaca Bencana Ekologis Sumatra
Koordinator Nasional FAMM Indonesia, Ija Syahruni menyebutkan, kekerasan terhadap perempuan tidak berdiri sendiri, ia terhubung dengan arah pembangunan negara yang semakin bergantung pada ekstraktivisme dan industri yang menggerus hutan, menghancurkan ruang hidup, serta memperdalam ketimpangan gender.






Discussion about this post