Namun inovasi penggunaan kembali kayu sebagai bahan bangunan perlu diiringi dengan strategi berkelanjutan. Mengingat Indenesia pernah mengalami deforestasi yang berlebihan, sehingga penggunaan kayu seolah merusak hutan.
“Padahal kayu itu produk yang renewable, asal kita menanamnya. Kadang kita panen, lupa menanam. Kalau orientasi pasarnya jelas, orang mau menanam,” kata Pakar Kehutanan UGM, Tomy Listyanto.
Baca Juga: KLHK Kebut Sosialisasi Bursa Karbon, Dosen UGM Ingatkan Perlu Dikawal
Lahan hutan produksi terbatas di Indonesia 2,8 hektare, hutan produksi 29,33 hektare, kemudian hutan produksi yang bisa dikonversi 12,79 hektare. Sementara Indonesia ada rekomendasi untuk hutan produksi, artinya kalau kita menggunakan kayu, area yang dicadangkan untuk produksi kayu itu cukup tinggi.
Jika menilik tujuan pengurangan emisi karbon dunia, maka strategi penggunaan bangunan berbahan dasar kayu dapat menjadi alternatif yang berpotensi besar. Namun saat ini, inovasi tersebut perlu dikaji ulang dari segi kebijakan dan aturan pemerintah agar dapat menerapkan pembangunan berkelanjutan. Produsen bangunan kayu harus tetap memiliki tanggung jawab untuk menanam kembali pohon yang telah ditebang. Kayu yang dipilih sebagai bahan bangunan pun harus memenuhi standar nasional, agar kuat dan aman ditinggali.
Baca Juga: Indonesia dan Cina Bangun Laboratorium Teknologi Bahan Energi Baru dan Metalurgi
“Bagian dari universitas adalah melakukan research and development bekerja sama antara universitas, industri, dan praktisi. Tak hanya bisa memanfaatkan yang kita punya, tapi juga dapat berpikir dengan konsep berkelanjutan,” imbuh Rektor UGM, Prof. Ova Emilia.
Sebelumnya, dalam konferensi COP26 Tahun 2021 di Glassgow, Presiden Joko Widodo menyampaikan target Indonesia untuk mencapai net zero emission paling lambat tahun 2060. Dan pada tanggal 23 September 2022, Indonesia juga menyampaikan perubahan target kepada sekretariat UNFCCC, yaitu peningkatan target penurunan emisi dari semula 29 persen menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri, serta dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan bantuan internasional. Perubahan target tersebut merupakan komitmen Indonesia yang diratifikasi kebijakan internasional. [WLC02]
Sumber: UGM
Discussion about this post