Bahkan Legal Eksternal PT IHIP atas nama Riski menyampaikan, bahwa jalan desa yang sekarang digunakan sebagai jalan holing adalah milik sah PT BTIIG, berdasarkan MoU tukar guling aset dengan Bupati Morowali yang ditandatangani pada tanggal 11 Maret 2024. Klaim tersebut disampaikan dalam rekaman video pernyataan yang beredar hingga diketahui masyarakat.
Padahal jalan desa yang terhubung dari Topogaro – Dusun Folili – Dusun Sigendo – Ambunu, jauh sebelumnya sudah digunakan masyarakat masih berbentuk jalan tanah setapak untuk ke kebun. Serta akses menuju ke Gua Vavompogaro (situs budaya) bersejarah bagi masyarakat sekitar.
Baca Juga: Setengah dari 8000 Ton Sampah per Hari di Jakarta Berupa Sisa Makanan
Kemudian masyarakat melakukan aksi blokade jalan pada 11-23 Juni 2024 di Desa Topogaro dan Desa Ambunu. Blokade jalan dilakukan bentuk protes terhadap PT BTIIG yang mengklaim sepihak jalan desa yang sehari-hari digunakan masyarakat.
Masyarakat juga menuntut pemerintah dan perusahaan untuk membatalkan MoU yang dinilai sepihak, mengembalikan fungsi jalan desa serta PT BTIIG memperlihatkan MoU yang disepakati pada tanggal 11 Maret 2024. Sampai saat ini MoU tersebut tidak pernah diperlihatkan oleh pihak perusahaan.
Kriminalisasi dan menggugat
Meningkatnya perlawanan masyarakat dalam mempertahankan haknya, membuat perusahaan melakukan upaya pembungkaman.
Baca Juga: Gamahumat, Ekstraksi Batu Bara Kalori Rendah untuk Soil Stabilizer
“Caranya, mengkriminalisasi dan menggugat secara hukum orang-orang yang dinilai sebagai pelopor perlawanan tersebut,” kata Moh Taufik dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah.
Tanggal 20 Juni 2024, lima orang warga Desa Tondo dan Topogaro atas nama Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, Safaat dan Sadam dilaporkan ke Polda Sulteng atas aksi blokade jalan yang mereka lakukan pada tanggal 11 Juni 2024 di Desa Topogaro. Pemanggilan tersebut berdasarkan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan dan Minerba.
Kemudian, tanggal 10 Oktober 2024, lima orang warga Desa Ambunu, yakni Abd Ramadhan A, Hasrun, Moh Rais Rabbie Ambunu, Makmur Ms dan Rifiana Ms mendapat surat panggilan dari Polda Sulawesi Tengah No. B/989/X2024/Diretkrimsus tertanggal 4 oktober 2024. Mereka diminta keterangan atas tindakan pidana terganggunya fungsi jalan yang digunakan PT BTIIG berdasarkan Peraturan UU Nomor 38 Tahun 2004 Pasal 63 ayat 1 (junto) Pasal 12 ayat 2.
Baca Juga: Kisah Para Penjaga Gunung Api Jelang Erupsi hingga Banjir Pascaerupsi
Upaya pembungkaman masyarakat terus dilakukan PT BTIIG. Lima orang warga Desa Topogaro yang sebelumnya dipanggil polisi, kembali digugat perdata dengan tuntutan Rp14 miliar atas kerugian penutupan jalan selama tiga hari dan pencemaran nama baik perusahaan.
Berdasarkan situasi tersebut, Koalisi Anti SLAPP (Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil (Walhi Nasional, Greenpeace, Walhi Sulteng, Perkumpulan AEER, Jatam Sulawesi Tengah, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) dan Pengacara Hijau Sulawesi Tengah) menuntut perlindungan hak warga dan keamanan masyarakat serta kebebasan warga untuk menyampaikan haknya tanpa takut akan intimidasi atau ancaman hukum.
Selain itu, pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan hilirisasi mineral, khususnya terkait peningkatan produksi nikel, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial, dan kesehatan warga.
“Pembatasan produksi perlu dilakukan untuk mencegah degradasi lingkungan yang lebih parah,” ucap Fanny Trijambore dari Walhi Nasional memungkasi. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post